Minggu, 26 Juni 2011

KEJAHATAN KORPORASI

Februari 10, 2004.
Kejahatan korporasi (corporate crime) lagi-lagi menjadi berita. Lanjutan kasus Pencemaran Teluk Buyat oleh Korporasi Newmont terus menarik perhatian media dan publik. Berbagai kalangan mulai dari kepolisian, LSM, pemerintah pusat dan daerah, akademisi, pemerhati lingkungan sampai Dubes AS menaruh perhatian pada kasus ini. Meski pernyataan Dubes AS senada dengan permintaan pemda Sulut, yakni agar para tersangka tidak ditahan, tak urung pernyataan itu menuai reaksi keras publik yang menganggapnya sebagai bentuk intervensi proses hukum. Anggapan bahwa penegakan hukum terhadap kasus pencemaran ini akan menurunkan minat investor (asing) perlu dikritisi lebih lanjut, dan menjadi salah satu alasan tulisan ini.

Curah perhatian kalangan berotoritas dengan tuntutan dan harapan yang acap berseberangan menunjukkan turunan sifat khas kejahatan korporasi. Berbagai ilustrasi dalam tulisan ini dari negara asalnya mungkin membantu memahami berbagai kritik terhadap pernyataan Dubes AS.
Di wilayah akademis, kejahatan korporasi biasanya dimasukan sebagai bagian dari kejahatan kerah putih. Kekhasannya adalah kejahatan ini dilakukan oleh korporasi atau agen-agennya (manager, karyawan, pemilik) terhadap anggota masyarakat, lingkungan, kreditur, investor atau pun saingannya Di Indonesia belum lah tersedia data memadai yang memberi gambaran menyeluruh tentang rentang dan akibat dari jenis kejahatan ini. Tetapi di Australia, total kerugian dari kejahatan korporasi lebih besar dari total kerugian dari seluruh kejahatan individual (Biles: 1987).

Cakupan wilayah kejahatan korporasi sangat beragam. Setidaknya ada 10 wilayah pokok kejahatan korporasi: pelanggaran peraturan sekuritas, penggelapan pajak, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, perusakan lingkungan, penipuan konsumen, praktek perdagangan yang monopolistis, pelanggaran atas standard makanan, pelanggaran prinsip kehati-hatian, pelanggaran atas hak karyawan dan praktek-praktek diskriminatif (Grabosky dan Braithwaite: 1987). Dari 10 wilayah kejahatan itu ada ratusan ribu turunan kejahatan korporasi. Sedemikian banyaknya lubang hukum yang terbuka di negara semaju Amerika, sampai Prof. Kanna (2004) menaksir masih dibutuhkan 300.000 peraturan federal sebagai jaring penjegah semua praktek kejahatan korporasi!

Kerugian akibat kejahatan korporasi sering sulit dihitung karena akibat yang ditimbulkannya berganda-ganda, sementara hukuman atau denda pengadilan acap tidak mencerminkan tingkat kejahatan mereka. Beberapa data dapat mengilustrasikan hal itu. FBI memperkirakan kerugian karena pencurian-perampokan di Amerika rata-rata 3,8 milyar dolar per tahun, sementara kejahatan korporasi: berkisar 200-500 milyar dolar (di antaranya 100-400 milyar dolar kejahatan medis, 40 milyar dolar di bidang otomotif, 15 milyar dolar penipuan sekuritas). Antara 1992 sampai 2002 Komisi Sekuritas AS hanya berhasil menghukum 87 kasus dari 609 kasus yang dibawa kepengadilan. Hukuman kurungan rata-rata pelaku kejahatan korporasi cuma 36 bulan, jauh lebih kecil dari pada masa hukuman rata-rata 64 bulan bagi pelaku kriminal tanpa kekerasan (mabuk, mencuri dsb) yang baru pertama melakukan kejahatan.

Di Jepang, 1999, kecelakaan reaktor nuklir JCO yang mengakibatkan dua pekerja meninggal dan penduduk Tokaimura terkena radiasi, memberi hukuman denda hanya 8500 dolar dan menunda hukuman bagi enam eksekutifnya (New Internationalist, Juli 2003).

Analisis Kasus Dari Sudut Pandang Kriminologi :

Dari sisi kriminologi kita dapat memunculkan beberapa pertanyaan terkait kasus kejahatan korporasi Newmont yang terjadi bahkan kasus korporasi yang acap kali terjadi bahkan di Jepang dan Amerika. Kriminologi sendiri adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari kejahatan dari berbagai aspeknya. Memberikan jawaban atas pertanyaan kenapa kejahatan itu bisa terjadi ? dalam hal ini kejahatan korporasi dan mengapa jenis kejahatan korporasi ini yang terjadi dan bagaimana dampaknya dirasakan masyarakat dan kemudian bagaimana tanggapan masyarakat atas kejahatan korporasi yang terjadi tersebut. Lalu dari sisi kriminologi yang mencari latar belakang terjadinya kasus korporasi ini menghadirkan beberapa pertanyaan seperti : Apakah hukum akan menimbulkan efek jera atau takut bagi pelaku kejahatan korporasi? Akankah penegakan hukum akan membuat investor berpikir ulang guna berinvestasi? Dengan berbagai ilustrasi di atas, jawabannya mudah diduga: sama sekali tidak menakutkan. Pada dasarnya memang kriminologi tidak memberikan jalan keluar atas suatu tindak kejahatan yang terjadi namun hanya memberika penjelasan atas suatu tindak kejahatan ( give explanation ) yang memberikan jalan keluar adalah pengambil keputusan ( decision maker ) setelah mendapatkan penjelasan dari kriminologi itu sendiri.

Bila kita lihat dari sisi kriminologi kenapa kejahatan korporasi seperti beberapa contoh kasus diatas dapat terjadi kita akan mendapatkan jawabannya bahwa pada dasarnya dibanding keuntungan masif korporasi, pinalti hukuman tidak lah berarti banyak. Dalam prakteknya denda hukum sekedar dihitung sebagai biaya produksi tanpa sepeserpun mengurangi keuntungan korporasi. Maka, argumen yang mengatakan bahwa penegakan hukum akan membuat investor takut menanam modal dapat saya katakan tidak didukung oleh alasan empirik.

Bicara tentang hukum, sama seperti juga hukum lainnya termasuk kejahatan jalanan, hukum atas kejahatan korporasi adalah sebuah persoalan politis. Yang terjadi dalam peristiwa politis adalah tawar-menawar yang mencari keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara. Celakanya, dalam sistem yang demokratis rata-rata kekuatan menawar warga telah ditransfer kepada institusi-institusi besar yang menghilangkan akuntabilitas publik.

Sekian banyak komponen kontrol, kekuatan dan ketiadaan tanggung jawab korporasi menjadi jaring-jaring yang mengkakangi otoritas pemerintah. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa korporasi menjadi penyumbang terbesar dalam kampanye-kampanye. Lagi di Amerika, di tahun 2000, 1,2 milyar dolar (75% dana kampanye) masuk ke kantong Partai Rebulik maupun Demokrat (bandingkan jumlah tersebut dengan jumlah yang didapat dari kejahatan korporasi). Sekitar 94% kandidat yang memperoleh uang korporasi memenangkan pemilu. Akibatnya, pemerintah di negara demokratis dirasa semakin tidak responsif terhadap opini publik dan korporasi-korporasi yang mendapat keuntungan dari sistem itu hampir seluruhnya tidak akuntabel.

Cara lain yang menyerang langsung jantung kekuatan korporasi tetapi kurang mendapat perhatian di ranah publik adalah: penghilangan beberapa “hak-hak” konstitusional korporasi yang selama ini mereka nikmati. Para ahli hukum (korporasi dan konstitusi) sudah lama mendebatkan bahwa tersedianya lubang-lubang hukum yang memungkinkan korporasi melakukan praktek kotor itu adalah turunan dari pre-asumsi hukum yang menempatkan korporasi sebagai “person” di hadapan hukum; dan karenanya berhak atas perlindungan-perlindungan konstitusional sama seperti “natural person”.
Maka salah satu upaya mendasar yang dapat dilakukan guna melawan kekuatan korporasi (sambil tetap menjaga sisi positifnya) adalah mengakhiri sebagian personalitas korporasi yang membuatnya terlalu kuat.

Dengan menolak personalitas korporasi, demokrasi kembali mendapatkan rohnya, yakni diakhirnya kedaulatan uang dan tegaknya supremasi kedaulatan rakyat. Sampai di batas ini, kita perlu menengok pada momen-momen politik yang sekarang sedang berlangsung di Tanah Air. Hari-hari ini kesibukan sedang berlangsung di istana wakil rakyat, Senayan. Sidang-sidang DPD, DPR dan MPR menjadi hayatan yang menguras biaya tidak sedikit. Salah satu agenda wakil rakyat adalah amandemen konsitusi.

Perlindungan itu tidak lain berupa penegasan bahwa hanya rakyat, individu, “natural person”, yang mempunyai hak-hak demokratis dan perlindung konstitusional, sembari membatasi personalitas korporasi pada tingkat paling minimal dan menegaskan kewajiban dasarnya. Korporasi harus dianggap sebagai fiksi legal yang wajib tunduk pada kepentingan dan kedaulatan rakyat dan ditujukan guna memberi pelayanan publik.

Menghadapi pertarungan ini tak ayal korporasi akan menyisihkan sebagian (kecil) uang mereka tetapi sudah cukup guna menyilaukan mata petualang dan para lintah politik. Lalu, sejarah berulang seperti dulu ketika para pangeran kerajaan di Nusantara ini menekukkan lutut mereka di hadapan kapitalis VOC sembari mengkakangi rakyat jelata.

Maka, dari sisi kriminologi telah memberikan jawaban kejahatan korporasi yang acap kali terjadi ini diakibatkan oleh hukum yang ada tidak memberikan efek jera kepada pelaku – pelaku kejahatan korporasi itu sendiri, seperti denda yang diberikan bahkan tidak memberikan kerugian sama sekali kepada korporasi yang telah melakukan pelanggaran hukum, terlebih bahwa denda yang harus dibayar tidak mempengaruhi keuntungan yang telah didapat oleh korporasi dari kejahatan dan pelanggarannya yang telah dilakukan. Terlebih bahwa menaruh korporasi sebagai person memberikan perlindungan kepada korporasi tersebut dari jaring hukum, memberikan celah untuk meloloskan diri dari jaring hukum. Oleh karena itu disini kriminologi telah memberikan jawaban dan penjelasan atas kejahatan korporasi yang acap kali terjadi, seharusnya segenap komponen bangsa bersehati mendesak wakil-wakil rakyat guna membendung kekuatan sisi jahat korporasi dan melindungi hak-hak demokratis rakyat melalui amandemen konstitusi.

Saya beranggapan, sekiranya hal itu sungguh terjadi, bangsa Indonesia akan dicatat dalam sejarah dunia sebagai bangsa yang secara konstitusional memberi perlawanan dan memenangkan rakyat atas sisi jahat korporasi. Tentu saja angan-angan ini hanya bisa dipikul para pemimpin bangsa yang tidak akan pernah gentar melawan kekuatan besar korporasi.

Lembaga Ombudsman RI kurang di Kenal Rakyat

Pelayanan dari pemerintah daerah (pemda) paling banyak dikeluhkan dan dilaporkan ke Ombudsman Indonesia. "Berdasarkan laporan masyarakat yang ditindaklanjuti secara formal, instansi penyelenggara pelayanan publik yang terbanyak dilaporkan adalah pemerintah daerah," ujar Ketua Ombudsman Indonesia Antonius Sujata dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR, Senin (17/5).

Sujata memaparkan jumlah masyarakat yang memberikan laporan terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, sejak sampai dengan April 2010, tercatat ada 1.010. Dari jumlah tersebut, 358 laporan di antaranya telah ditindaklanjuti sesuai kewenangan Ombudsman. Sementara sisanya diselesaikan melalui konsultasi ataupun penjelasan.

Berdasarkan laporan yang ditindaklanjuti tersebut, Antonius mengatakan instansi penyelenggara pelayanan publik yang terbanyak dilaporkan adalah pemerintah daerah, terutama tingkat kabupaten/kota, dengan 94 laporan atau 26,26 persen. Diikuti kepolisian 77 laporan atau 21,51 persen, lembaga peradilan 60 laporan atau 16,76 persen, Badan Pertanahan Nasional 31 laporan atau 8,66 persen, dan kementerian 25 laporan atau 6,98 persen.

Mengenai substansi laporan, dia mengatakan penundaan berlarut-larut merupakan yang terbanyak dengan 188 laporan atau 52,51 persen. Penyalahgunaan wewenang menempati urutan kedua dengan jumlah 66 laporan atau 18,44 persen. "Lainnya keberpihakan sebanyak 41 laporan atau 11,45 persen, penyimpangan prosedur 24 laporan atau 6,70 persen, dan tidak kompeten 18 laporan atau 5,03 persen," paparnya.

Wakil Ketua Ombudsman Indonesia Sunaryati Hartono mengakui keberadaan Ombudsman belum populer. "Biasanya masalah yang dihadapi oleh Ombudsman itu binatang apa itu. Tidak mengherankan karena SH saja banyak yang belum tahu," kata dia. Sunaryati memaparkan karena lembaganya bertugas sebagai pengawas birokrasi, banyak yang mengira hasil akhir kerja Ombudsman berakhir seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni mengajukan surat dakwaan ke pengadilan. Lembaga itu, kata Sunaryati, hanya bertugas memperbaiki kinerja birokrasi.

Analisis

Yang menjadi salah satu masalah disini adalah Ombudsman yang belum merakyat dan masih jarang dikenal oleh masyarakat itu sendiri, bahkan lebih parahnya banyak sarjana hukum yang masih kurang mengenal akan Ombudsman RI.

Mengutip pendapat dari Ketua Lembaga Ombudsman RI (LORI) Antonius Sujata SH.MH. mengatakan fungsi utama LORI sesuai UU No.37/2008 mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik.

Pelayanan publik itu sendiri diselenggarakan oleh pemerintahan, BUMN, BUMD, BHMN, Badan swasta atau perseorangan. Peran Ombudsman sendiri pasca disahkannya UU No.37/2008 terkait dengan perannya mendorong keterbukaan informasi publik dan pencegahan korupsi.

Dia mengemukakan Ombudsman didirikan selain untuk menghadapi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur pemerintah dan membantu aparatur agar melaksanakan pemerintahan secara efisien dan adil, juga untuk mendorong pemegang kekuasaan melaksanakan pertanggungjawaban serta pelayanan secara baik. Hak memperoleh informasi merupakan hak asasi setiap manusia, sesuai Pasal 8 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyebut bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggungjawab pemerintah.
Melihat fungsinya yang begitu besar sebagai salah satu upaya pencegah tidak pidana korupsi seharusnya Ombudsman harus lebih mengenalkan profil diri kepada masyarakat, sehingga diharapkan dengan hal tersebut akan lebih memudahkan masyarakat sendiri dalam membantu dalam pencegahan korupsi. Namun melihat fakta banyak masyarakat yang kurang mengenal Ombudsman itu sendiri muncul permasalahan bagaimana bisa Ombudsman menjalankan funsgi dan perannya dalam praktik kenegaraan.

Menurut yang paling esensial dilakukan saat ini sebagai langkah utama adalah dengan melakukan penyuluhan, seminar – seminar akan pengenalan Lembaga Ombudsman RI itu sendiri di berbagai tempat di seluruh wilayah – wilayah Indonesia itu sendiri. Menurut saya sendiri itu adalah langkah awal yang harus dilakukan, karena untuk menjalankan fungsi dan perannya masyarakat perlu mengenal LORI itu sendiri.

Reformasi Pemerintah Daerah dalam Pembangunan di Indonesia

Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah

Reformasi birokrasi publik pada pemerintah daerah dilaksanakan tidak hanya mencakup pembenahan—jika tidak disebut perombakan—struktural menuju perampingan ukuran dan komponen birokrasi, sebagaimana diamanatkan dalam PP No. 8 Tahun 2003. Lebih dari itu, reformasi birokrasi publik juga mencakup perubahan secara gradual terhadap nilai (public value) dan budaya aparat pemerintah daerah yang berimplikasi pada etos kerja, kualitas pelayanan publik, hingga perubahan perilaku sebagai penguasa (ambtenaar) menjadi pelayanan & pengayoman.

Reformasi struktural birokrasi pemda juga memiliki varian, salah satunya yakni reengineering process terhadap pelayanan publik. Reformasi ini menekankan pada rekayasa mekanisme pelayanan publik yang dilekatkan dengan aspek struktural suatu birokrasi publik. Contoh nyata varian reformasi ini adalah pelayanan satu pintu (one stop service), tidak sekadar satu atap, untuk melaksanakan pelayanan perizinan dan nonperizinan. Bentuk pelayanan ini baru bisa direkayasa dengan restrukturisasi organ satuan kerja ke dalam satu Badan berikut pelimpahan kewenangan padanya, dipadukan dengan penggunaan teknologi informasi intranet sebagai pewujudan e-government dalam pengertian yang sebenarnya. Sebagai contoh, Pemkab Kutai Timur membentuk Badan Sistem Informasi Manajemen Pemerintahan Kabupaten (Badan Simpekab) yang melayani 42 jenis pelayanan. Dalam ragam yang sama, Pemkab Sragen membentuk Badan Pelayanan Terpadu (BPT) yang melayani 62 jenis pelayanan dengan batas waktu pelayanan maksimal 12 hari (khusus pelayanan IMB 15 hari). Pengambil keputusan dalam pemberian izin tidak lagi bergantung pada Bupati tetapi telah diserahkan kepada Kepala BPT.
Kerja BPT ditunjang oleh teknologi informasi (TI), menggunakan intranet dalam aplikasi Kantaya (Kantor Maya) yang secara resiprokal menjamin pertukaran informasi secara efisien sekaligus mekanisme pengawasan secara transparan antarsatker. Secara lebih luas Pemkab Sragen memanfaatkan TI dalam pengoperasian kerja pemda sehingga tidak terbatas pada BPT. Keberadaan Badan pelayanan satu pintu semacam ini memangkas kesemrawutan pengurusan izin di berbagai dinas sehingga pelayanan bisa memanfaatkan waktu yang lebih singkat.

Perubahan struktural mesti diikuti oleh perubahan kultural, berupa internalisasi mindset dan perilaku, serta revitalisasi etos kerja. Beranjak dari keinginan untuk melepaskan diri dari budaya birokratis yang kaku, beberapa kepala daerah mengarahkan perubahan kultural menuju corporate culture yang berlandaskan semangat kewirausahaan. Bupati Sragen, misalnya, selama enam bulan pertama masa jabatannya secara rutin mengadakan pertemuan dengan kepala-kepala satker untuk membicarakan persoalan masyarakat yang terakumulasi dan belum terselesaikan untuk kemudian dipecahkan bersama saat pertemuan itu juga. Bupati juga mencanangkan nilai-nilai publik di tengah-tengah jajaran birokrasi pemda berupa 5K: Komitmen, Konseptual, Kontinu, Konsisten, dan konsekuen. 5K tidak sekadar dicanangkan tapi diintegraskan dalam mekanisme kerja harian, terutama yang bersinggungan langsung dengan tupoksi Bupati/ Wakil Bupati. Pemkab Sragen juga mengundang pelaku bisnis di perusahaan swasta untuk memberikan pelatihan perilaku organisasi bagi pegawai BPT agar mereka berperilaku dan bertindak selayaknya karyawan swasta yang berorientasi pada kepuasan pengguna jasa (consumer, customer). Di samping itu, pelatihan ESQ telah beberapa kali diselenggarakan.

Untuk menangani masalah-masalah psikologis pegawai, Pemkab Sragen membangun Klinik Terapi Holistik yang menjadi pusat konsultasi dan penyelesaian problem personal pegawai, baik psikologis, spiritual, dan medis. Klinik ini kemudian dikembangkan menjadi Assessment Center yang menjalankan penilaian prestasi kerja secara terukur dan solutif dengan pendekatan holistik tadi. Semangat keiwarusahaan dipompa melalui penyediaan professional fee bagi para pegawai satker yang melakukan kegiatan-kegiatan produktif dan marketable. Production training center (PTC) Garmen dan Meubel di Badan Diklat, Perangkat Pilkades secara elektronik di Bag. Pemerintahan Umum Setda, aplikasi TI di Bag. Litbang & PDE Setda, merupakan sedikit dari sekian banyak contoh satker yang bisa meraih profit dari program-program kegiatannya.

Berbeda dengan Pemkab Sragen, Gubernur Gorontalo mengurangi mekanisme honorarium sebagai cara pemberian insentif berbasis take-home pay. Sebagai gantinya, penilaian kinerja pegawai dilakukan secara terukur berdasarkan produktivitas kerja sehingga diterapkan insentif bagi pegawai yang tercatat berprestasi dalam aktivitas mereka. Di samping itu, pengerjaan kegiatan-kegiatan Pemprov Gorontalo tidak lagi menggunakan sistem proyek. Setiap elemen dalam satuan kerja telah memiliki pembagian tugasnya masing-masing dan bertindak atas job specification yang telah dibagi itu. Inilah salah satu wujud penerapan anggaran berbasis kinerja, pegawai dengan kinerja bagus akan mendapatkan insentif tersendiri. Di samping menekankan anggaran berbasis kinerja dan efisiensi keuangan, transparansi dan akuntabilitas Pemprov Gorontalo diwujudkan dengan pemuatan laporan keuangan yang spesifik di media massa.

Cara berbeda diterapkan Walikota Tarakan. Pemkot Tarakan, Kalimantan Timur, melakukan outsourcing SDM dari luar jajaran Pemkot untuk duduk menjabat sebagai kepala satker tertentu. Kepala Bappeda Kota Tarakan bisa menjadi salah satu contoh. Target yang hendak dicapai melalui cara ini adalah terjadinya transfer pengetahuan, budaya, cara berpikir, dan cara kerja baru di lingkungan Pemkot. Pihak luar yang digandeng untuk ikut menjalankan roda pemerintahan daerah diasumsikan memiliki karakter yang masih segar dan belum mengalami kontak asimilasi budaya dengan pegawai lama. Posisinya yang strategis memudahkannya dalam mengambil keputusan sekaligus menjalankan peran pentng di lingkungan satker tempat ia bertugas. Langkah lain adalah dengan memangkas pengelolaan fungsi-fungsi yang bukan merupakan pekerjaan pokok (core-business) pemkot. Pengelolaan pasar, melalui sistem tender yang terbuka dan akuntabel, dikelola perusahaan swasta dengan regulasi tetap di tangan Pemkot sehingga intervensi pengelolaan pasar dan pengelolaan keuangan oleh Pemkot melalui Perusahaan Daerah (Perusda) menjadi berkurang. Hal ini di Tarakan diterapkan di Pasar Boom-Panjang yang sekarang dikenal sebagai pasar dengan kreativitas penggalian potensi laba, bersih dan apik, berbeda dengan kondisi pasar-pasar tradisional pada umumnya. Perusahaan swasta dalam mengelola pasar hanya menggunakan setengah karyawannya, setengah kebutuhan jumlah pengelola diambil dari kalangan pedagang pasar per blok.

Analisis
Reformasi adalah perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa dan perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara. Dalam sistem pemerintahan daerah di daerah-daerah Indonesia telah terjadi reformasi birokrasi dalam bidang pembangunan atau publik. Di artikel ini tertulis bahwa reformasi birokrasi publik itu bukan hanya mencakup tentang pembenahan saja namun juga mencakup tentang mencakup perubahan secara gradual terhadap nilai (public value) dan budaya aparat pemerintah daerah yang berimplikasi pada etos kerja, kualitas pelayanan publik, hingga perubahan perilaku sebagai penguasa (ambtenaar) menjadi pelayanan & pengayoman.

Reformasi struktural birokrasi pemda juga memiliki varian, salah satunya yakni reengineering process terhadap pelayanan publik. Reformasi ini menekankan pada rekayasa mekanisme pelayanan publik yang dilekatkan dengan aspek struktural suatu birokrasi publik. Perubahan struktural mesti diikuti oleh perubahan kultural, berupa internalisasi mindset dan perilaku, serta revitalisasi etos kerja. Beranjak dari keinginan untuk melepaskan diri dari budaya birokratis yang kaku, beberapa kepala daerah mengarahkan perubahan kultural menuju corporate culture yang berlandaskan semangat kewirausahaan.

Contohnya Bupati Sragen mencanangkan nilai-nilai publik di tengah-tengah jajaran birokrasi pemda berupa 5K: Komitmen, Konseptual, Kontinu, Konsisten, dan konsekuen. Berbeda dengan Pemkab Sragen, Gubernur Gorontalo mengurangi mekanisme honorarium sebagai cara pemberian insentif berbasis take-home pay. Sebagai gantinya, penilaian kinerja pegawai dilakukan secara terukur berdasarkan produktivitas kerja sehingga diterapkan insentif bagi pegawai yang tercatat berprestasi dalam aktivitas mereka. Cara berbeda diterapkan Walikota Tarakan. Pemkot Tarakan, Kalimantan Timur, melakukan outsourcing SDM dari luar jajaran Pemkot untuk duduk menjabat sebagai kepala satker tertentu.

HUBUNGAN HUKUM LINGKUNGAN DENGAN HAN DALAM KASUS AMDAL KAWASAN LINGKUNGAN INDUSTRI KECIL DI SEMARANG

Hukum lingkungan dalam bidang ilmu hukum, merupakan salah satu bidang ilmu hukum yang paling strategis karena hukum lingkungan mempunyai banyak segi yaitu segi hukum administrasi, segi hukum pidana, dan segi hukum perdata. Dengan demikian, tentu saja hukum lingkungan memiliki aspek yang lebih kompleks. Hubungan hukum lingkungan dengan hukum administrasi negara dapat dilihat dari kasus – kasus lingkungan yang terjadi, salah satu kasus lingkungan yang terjadi miaslnya kasus AMDAL kawasan lingkungan industri kecil di Semarang. Kita dapat melihat hubungan antara hukum lingkungan dengan hukum administrasi negara disini, dimana dalam penyelesaian kasus lingkungan seperti itu dapat dikenakan sanksi dari hukum administrasi yang juga mengatur hal – hal pelanggaran lingkungan tersebut, adapun kasus tersebut beserta dengan analisis dari sisi hukum administrasi adalah sebagai berikut :

Dalam kasus AMDAL kawasan Lingkungan daerah Semarang Pelaku usaha dan pemerintah daerah dinilai masih mengabaikan masalah lingkungan. Hal ini terlihat dari masih adanya kawasan industri di Semarang yang beroperasi tanpa terlebih dahulu memenuhi kewajiban stu di Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Selain itu, sejumlah industri di Semarang juga masih banyak yang belum secara rutin, yaitu enam bulan sekali, menyampaikan laporan kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Semarang. “Kalau sebuah kawasan industri sudah beroperasi sebelum melakukan studi Amdal, Bapedalda tidak bisa berbuat apa-apa.

Kami paling hanya bisa mengimbau, tapi tidak ada tindakan apa pun yang bisa kami lakukan. Terus terang, Bapedalda adalah instansi yang mandul,” kata Mohammad Wahyudin, Kepala Sub-Bidang Amdal, Bapedalda Semarang, Kamis (1/8), di Semarang. Wahyudin menceritakan, kawasan industri di Jalan Gatot Subroto, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, misalnya, sejak beroperasi dua tahun lalu hingga saat ini belum mempunyai Amdal.

Padahal, menurut Wahyudin, salah satu syarat agar sebuah kawasan industri bisa beroperasi ialah dipenuhinya kewajiban melaksanakan studi Amdal. “Bapedalda berkali-kali menelpon pengelola kawasan industri tersebut, menanyakan kelengkapan dokumen Amdal mereka. Namun, sampai sekarang, jangankan memperoleh jawaban berupa kesiapan membuat studi Amdal, bertemu pemilik kawasan itu saja belum pernah,” ujarnya. Wahyudin menyayangkan sikap pihak berwenang yang tetap memberikan izin kepada suatu usaha industri atau kawasan industri untuk beroperasi walau belum menjalankan studi Amdal.

Menurut dia, hal ini merupakan bukti bahwa bukan saja pengusaha yang tidak peduli terhadap masalah lingkungan, melainkan juga pemerintah daerah. Sikap tidak peduli terhadap masalah lingkungan juga ditunjukkan sejumlah pemilik usaha industri ataupun kawasan industri dengan tidak menyampaikan laporan rutin enam bulan sekali kepada Bapedalda. Wahyudin mengatakan, kawasan industri di Terboyo, misalnya, tidak pernah menyampa ikan laporan perkembangan usahanya, terutama yang diperkirakan berdampak pada lingkungan, kepada Bapedalda.

Hal serupa juga dilakukan pengelola lingkungan industri kecil (LIK) di Bugangan Baru. Keadaan tersebut, menurut Wahyudin, mengakibatkan Bapedalda tidak bisa mengetahui perkembangan di kedua kawasan industri tersebut. Padahal, perkembangan sebuah kawasan industry sangat perlu diketahui oleh Bapedalda agar instansi tersebut dapat memprediksi kemungkinan pencemaran yang bisa terjadi. Ia menambahkan, industri kecil, seperti industri mebel, sebenarnya berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Namun, selama ini, orang terlalu sering hanya menyoroti industry berskala besar.

Ø Analisa Kasus

Aspek Hukum Perlindungan kawasan industri di Semarang dari Pencemaran Limbah Pengelolaan lingkungan adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (pasal 1 angka 2 UUPLH). Secara umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (sustainability) dalam pemanfaatan. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan.

Terdapat beberapa dasar hukum pengelolaan kawasan industri yaitu:
1) UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumber daya Alam dan Ekosistemnya.

2) UU No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang.

3) UU No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

4) UU No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah.

5) PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk
dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang.

6) Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

7) Permendagri No. 8 tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah.

Sanksi Administrasi

Disini terlihat keterkaitan hubungan antara hukum lingkungan dengan hukum administrasi negara yang mana dalam penyelesaian kasus – kasus yang menyalahi aturan dari hukum lingkungan dapat dilihat dari sisi administratifnya pula, dengan aturannya yang tersendiri namun tetap berhubungan satu sama lain.

Dalam UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, salah satu instrumen hukum yang berperan bila kita bicara tentang penegakkan hukum lingkungan adalah hukum administrasi. Instrumen hukum administratif berbeda dengan instrumen lainnya, oleh karena penyelesaiannya adalah di luar lembaga peradilan. Dengan demikian, efektivitasnya sangat tinggi dalam pencegahan perusakan lingkungan. Sanksi administratif tercantum dalam pasal:

Pasal 25

(1) Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-undang.

(2) Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan kepada Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat I.
(3) Pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4) Paksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), didahului dengan surat perintah dari pejabat yang berwenang.

(5) Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan pembayaran sejumlah uang tertentu.

Berdasarkan ketentuan diatas pelanggar dapat diperingati agar berbuat sesuai izin dan apabila tidak, akan dikenakan sanksi yang paling keras pencabutan izin usaha perusahaan pengalengan ikan yang terbukti membuang limbah ke pesisir Kepala Daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan kepada pejabat yang berwenang. Selain itu pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan karena merugikan kepentingannya (lihat pasal 27 ayat 1,2,3 UUPLH). Upaya adminisrtatif adalah upaya tercepat karena tidak memerlukan proses peradilan. Dalam kasus pengerusakan lingkungan upaya ini terasa lebih relevan mengingat pencemaran lingkungan hidup memerlukan upaya yang cepat agar kerugian yang ditimbulkan tidak terus bertambah.

PERBEDAAN GENDER DALAM HUKUM ADAT BATAK

Masalah gender sudah sering dibahas oleh pemerhati masalah gender dalam berbagai pertemuan-pertemuan, diskusi-diskusi, seminar-seminar dan lain-lainnya baik pada tingkat lokal, maupun pada tingkat nasional bahkan pada tingkat inetrnasional. Walaupun demikian masih banyak orang tidak mengetahui dan tidak mengerti apa sebenarnya gender tersebut. Karena tidak mengerti apa itu gender maka banyak orang beranggapan bahwa apabila orang mengatakan gender itu adalah sebagai usaha dari kaum perempuan untuk menunut harta warisan. Pada hal tidaklah demikian karena masalah gender dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu aspek hukum adat, pidana, pajak, perdata, tata negara, aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Istilah “gender” yang berasal dari bahasa Inggris yang di dalam kamus tidak secara jelas dibedakan pengertian kata sex dan gender. Untuk memahami konsep gender, perlu dibedakan antara kata sex dan kata gender.
Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat. Dalam kaitan dengan pengertian gender ini, maka gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari, dibentuk dan dirubah oleh masyarakat sendiri, oleh karena itu, sifatnya dinamis, artinya dapat berubah dari waktu kewaktu, dan dapat pula berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang lainnya sejalan dengan kebudayaan masyarakat masing-masing.
Masalah gender sering kali berlaku dalam masayarakat adat, khususnya untuk masayarakat adat yang memakai sistem patrilineal yang mengutamakan gender laki – laki diatas perempuan seperti suku batak misalnya, dan sebaliknya untuk masyarakat adat yang menggunakan sistem matrilineal yang meletakan hak perempuan diatas laki – laki seperti misalnya masyarakat minangkabau. Ada satu sistem kekerabatan lainnya yang menyamaratakan kedudukan antara laki – laki dengan perempuan, yaitu sistem parental yang banyak di anut di jawa.
Masyarakat adat batak memakai sistem patrilineal yang meletakkan laki – laki diatas perempuan, hal tersebut mempengaruhi sistem warisan dalam masyarakat batak mulai dari hak – hak nya atas warisan serta bagian masing – masing antara laki – laki dengan wanita dan sebagainya.
Hukum adat terdiri dari berbagai lapangan hukum adat antara lain hukum adat pidana, tata negara, kekeluargaan, perdata, perkawinan dan waris. Dalam tulisan ini yang akan dibahas dalam kaitan isu gender adalah hukum kekeluargaan, perkawinan dan waris.
Antara hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat karena ketiga lapangan hukum tersebut merupakan bagian dari hukum adat pada umumnya dan antara yang satu dengan yang lainnya saling bertautan dan bahkan saling menentukan.
Di Indonesia pada dasarnya terdapat tiga sistem kekeluargaan atau kekerabatan yakni :
1. Sistem kekerabatan patrilinial yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki ( ayah ), sistem ini dianut di Tapanuli, Lampung, Bali dan lalin-lain.
2. Sistem kekerabatan matrilinial yaitu sitem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis perempuan ( ibu ), sistem ini dianut di Sumatra Barat ( daerah terpencil ).
3. Sistem kekerabatan parental yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki ( ayah ) dan perempuan ( ibu ), sistem ini dianut Jawa, Madura, Sumatra Selatan dan lain-lainnya.
Walaupun di Indonesia terdapat tiga sistem kekerabatan atau kekeluargaan yaitu sistem kekerabatan matrilinial, patrilinial dan parental namun kekuasaan tetap berada di tangan laki-laki hal ini sebagai akibat dari pengaruh idiologi patriarki.
Sistem kekerabatan matrilinial yang dianut pada masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat, merupakan sistem kekerabatan yang tertua. Sistem kekerabatan ini menempatkan status kaum perempuan yang tinggi dan disertai dengan sistem perkawinan semendonya, dan sebagai penerus keturunan serta dalam hukum waris juga sebagai ahli waris. Pada masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat di mana pada sistem kekeluargaan ini garis keturunan ditarik dari garis perempuan ( ibu ) akan tetapi kekuasaan bukan berada di tangan perempuan namun tetap berada di tangan laki-laki, hal ini dapat dilihat bahwa yang menjadi mamak kepala waris adalah dijabat oleh laki-laki yakni laki-laki tertua. Oleh karenanya dalam sistem kekerabatan matrilinial kekuasaan tetap berada di tangan laki-laki maka jelas terdapat isu gender di dalamnya.
Dalam sistem kekerabatan patrilinial yang dianut oleh masyarakat Tapanuli misalnya, sangat jelas menempatkan kaum laki-laki pada kedudukan yang lebih tinggi. Laki-laki berkedudukan sebagai ahli waris, sebagai pelanjut nama keluarga, sebagai penerus keturunan, sebagai anggota masyarakat adat dan juga mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan keluarga maupun masyarakat luas. Dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan partilinial kaum perempuan justru sebaliknya yaitu mempunyai kedudukan yang sangat rendah, tidak sebagai ahli waris, tidak sebagai pelanjut keturunan, tidak sebagai penerus nama kelaurga karena dalam perkawinan jujur (pada umumnya) perempuan mengikuti suami dan juga tidak menjadi anggota masyarakat adat.






ANALISIS

Bahwasannya suatu keadaan pro gender berlaku dalam masyarakat yang memakai sistem kekerabatan patrilineal dan matrilineal, karena dalam sistem ini jelaslah peletakan hak – hak yang timpang antara laki – laki dan wanita.
Suku batak merupakan suku yang memakai sistem kekerabatan patrilineal yang mana menempatkan atau mengutamakan laki – laki dibanding dengan perempuan, hal ini dapat dilihat dari pembagian warisan yang lebih mengutamakan bagian tebesar untuk laki – laki dan menomor duakan bagian wanita. Dalam hal perkawinan sendiri dalam suku adat batak, maka wanita yang menjadi istri dari seorang lelaki suku batak harus tunduk pada setiap aturan adat keluarga lelaki.
Bila kita lihat dari hukum yang berlaku sendiri dalam Indonesia memang menggambarkan betapa sesungguhnya laki – laki masih dianggap berada diatas perempuan, Hal ini jelas dapat diketahui dari produk peraturan perundangan-undangan yang masih mengandung isu gender di dalamnya, dan oleh karenannya masih terdapat diskriminasi terhadap perempuan. Contoh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di mana seolah-olah undang-undang tersebut melindungi perempuan dengan mencantumkan asas monogami di satu sisi akan tetapi di sisi lain membolehkan bagi suami untuk berpoligami tanpa batas jumlah wanita yang boleh dikawin.
Secara umum kedudukan perempuann dalam hukum adat batak masih mencerminkan sub-ordinasi dan bias gender terhadap perempuan. Peraturan perundang-undangan sebagai hukum negara juga mencerminkan ketidak adilan hukum dan ketidak adilan gender seperti Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Perpajakan.

Sabtu, 25 Juni 2011

ALASAN HAPUSNYA KEWENANGAN MENUNTUT DAN MENJALANKAN PIDANA

A. Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana
1. Tidak adanya pengaduan pd delik aduan (psl 72 – 75)
Yg berhak mengadu:
a. Jika ybs blm 16 th/blm cukup umur/dibwh pengampuan
  • Wakilnya yg sah
  • Wali pengawas
  • Istri/suami
  • Keluarga sedarah garis lurus
  • Keluarga sedarah garis menyimpang sampai derajat ke 3
b. Jika ybs meninggal
  • Orang tuanya
  • Anaknya
  • Suami/istrinya (kec. Ybs tdk menghendaki)
  • Tenggang waktu pengaduan :
  • 6 bln sjk menget kejhatn (berdomisili di Indonesia)
  • 9 bln (bg yg berdomisili di luar negeri)
Penarikan kembali pengaduan : dlm tenggang 3 bln setelah diajukan.

Khusus perzinahan (284) yg berhak mengadukan hanya suami/istri yg dirugikan. Dan penarikan kembali dpt dilakukan sewaktu2 selama pemeriksaan sidang belm dimulai.
Melarikan wanita (332) yg berhak mengadu hanya wanita ybs atau suaminya (apabila sdh cukup umur), dan wanita ybs dan org yg memberi ijin bila wanita itu kawin (bila blm cukup umur)

2. Ne bis in idem (psl 76)
Syarat ne bis in idem yg akan menghapus penuntutan :
a. ada putusan (bukan penetapan) hakim yg berkekuatan tetap.
b. Orang yg dijatuhi putusan adalah sama;
c. Perbuatan yang dituntt adalah sama

3. Matinya terdakwa (psl 77)

4. Daluwarsa (psl 78 - 81)
Daluwarsa dihitung sejak hari sesdah pernuatan dilakkn.
a. utk semua kej dan plnggaran percetakan : 1 tahun
b. tk kej yg diancam dg denda, kurungan atau penjara maks 3 thn : 6 tahun
c. utk kej yg diancam pjr lbh dr 3 thn : 12 tahun
d. utk kej yg diancam dg pid mati atau seumur hdp : 18 thn

Bagi pelaku yg pd saat melkk kej blm berumr 18 thn, maka msg2 daluwarsa dikurangi 1/3.

5. Telah ada pembayaran denda maksimum pd delik yg hanya diancam dg denda (psl 82)
Dikenal juga sebagai lembaga hukm “afkoop” (penebusan) atau “schikking” (perdamaian)

6. Abolisi atau amnesti (di luar KUHP) UU no. 11/Drt/1954.
Amnesti semua akibat hkm pid dihapuskan
Dpt dilakukan kapanpun
Abolisi hanya menghapskan penuntutan
Hanya dpt dilakukan sblm ada putusan pengadln

B. Alasan Hapusnya Kewenangan Menjalankn Pidana
1. Yg terdapat dlm KUHP
a. matinya terdakwa (psl 83)
b. daluwarsa (psl 84, 85)
daluwarsa dimulai keesokan harinya sesdh put hkm dpt dijlankan
- Utk semua pelanggaran : 2 tahun
- Utk kej percetakan : 5 tahun
- Utk kej lainnya : sama dg daluwarsa penuntutan
- Tdk ada dalwarsa utk pid mati

Pencegahan (stuiting) dalwarsa dpt terjadi :
1) terpidana melarikan diri selama menjalani pidana (daluwarsa dihitung mulai keesokan hari setelah melarikan diri)
2) pada pelepasn bersyarat yg dicabut, maka daluwarsa dihitung baru (tdk melnjutkan yg dl) pd esok hari setelah pencabutan.
Dg adanya stuiting, mk daluwarsa yg tlh dilalui mjd hilang (tdk diperhitungkan)
Penundaan (schorsing) dapat terjadi :
1) selama prjalanan pid ditunda mnrt perundang-undangan ybl
2) selama terpidana dirampas kemerdekaannya (dlm tahanan)
Adanya Schorsing hanya menghentikan sementara daluwarsa, sdgkan daluwarsa yg tlh dilalui tetap diperhitungkan

2. Yg terdapat di luar KUHP
a. Amnesti
b. Grasi (UU no. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi)
Grasi tdk menghilangkan put hkm ybs, hanya menghapus/ mengrangi/ meringankan pidana.
Grasi dpt berupa :
a. peringanan atau perubahan jenis pidana;
b. pengurangan jumlah pidana; atau
c. penghapusan pelaksanaan pidana.

FAKTOR PENYBEBAB KONFLIK DAN KEJAHATAN KEKERASAN ANTAR KELOMPOK DI TERMINAL BUS ANTAR KOTA

Kriminologi adalah suatu bidang ilmu yang salah satu objek kajiannya adalah tindak kejahatan atau kriminal serta faktor – faktor yang menyebabkan suatu tindak kriminal bisa terjadi di suatu wilayah atau daerah tertentu, kajian hasil penelitian dari kriminologi ini diharapkan dapat dipakai untuk kesejahteraan masyarakat serta melindungi masyarakat pada akhirnya, hasil penelitian dari kriminologi ini dapat dipakai untuk menangguangi suatu tindak pidana serta dapat dipakai oleh pejabat – pejabat hukum untuk membuat aturan atau tatanan hukum yang tepat bagi suatu masyarakat.

Salah satu kasus yang dapat dijadikan objek kajian kriminologi adalah kasus konflik dan kejahatan kekerasan antar kelompok preman Batak melawan kelompok Sunda yang terjadi di Terminal Bus Kampung Rambutan Jakarta Timur, yang merupakan hasil penelitian dari Abdul Hasyim Gani untuk Tesis S2 dari UI.

Penelitian tentang konflik dan kejahatan kekerasan antar kelompok preman Batak melawan kelompok Sunda dkk., ini menempatkan gejala tersebut dalam konteks tingkah laku kekerasan kolektif. Dengan demikian, unsur yang menjadi unit analisis adalah kolektif. Model analisis yang dipergunakan. diilhami oleh teori tingkah laku kolektif dari Smelser dan Tilly. Berdasarkan teori tersebut, gejala konflik dan kejahatan kekerasan antar kelompok preman Batak melawan kelompok Sunda dkk., dibagi menjadi faktor pendorong struktural, faktor ketegangan struktural, faktor penyebarluasan kepercayaan umum, faktor mobilisasi, faktor pemicu, faktor kesempatan dan kejahatan kekerasan.

Metodologi penelitian yang dipergunakan adalah kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus. Dengan mengamati faktor-faktor penyebab terjadinya konflik dan kejahatan kekerasan antarkelompok preman Batak melawan kelompok Sunda dkk., yang terjadi pada tanggal 2-3 Februari 1998. Disain penelitian adalah studi kasus. Pengumpulan data mempergunakan teknik pengamatan dan wawancara. Penanggulangan kelemahan penelitian dilakukan dengan memperbanyak sumber data dan keterlibatan langsung peneliti dalam pencaharian data.


Hasil penelitian menunjukkan adanya faktor mendasar yang menyebabkan terjadinya konflik dan kejahatan kekerasan antarkelompok preman Batak melawan kelompok Sunda dkk. Faktor tersebut berupa pendorong struktural, yaitu terdapatnya persaingan, ketidakadilan, perbedaan budaya antarkelompok yang menimbulkan ketegangan. Hal itu disebarluaskan kepada anggota kelompok hingga terjadi upaya mobilisasi kolektif, yang dipicu oleh suatu peristiwa dan intervensi aparat pengendali sosial formal yang tidak maksimal sehingga terjadi kejahatan kekerasan kolektif.

Penyelesaian permasalahan konflik dan kejahatan kekerasan antarkelompok preman Batak melawan kelompok Sunda dkk., dilakukan melalui pertama, faktor persaingan dilakukan upaya kontak, dan rekonsiliasi; kedua, faktor ketidak adilan dilakukan melalui upaya kerjasama, dan arbitrasi; ketiga, faktor perbedaan budaya melalui pendekatan tawar menawar (bargaining) dan mediasi antara kedua kelompok, hasilnya "sementara waktu" dapat meredakan konflik dan kejahatan kekerasan antarkelompok.

Kesimpulan penelitian adalah proses terjadinya konflik dan kejahatan kekerasan antarkelompok preman Batak melawan kelompok Sunda dkk., pada dasarnya telah mengikuti teori tingkah laku kolektif dari Smelser dan Tilly yang mana tindak kekerasan yang terjadi di daerah Terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur meliputi adanya faktor pendorong struktural, faktor ketegangan struktural, faktor penyebarluasan kepercayaan umum, faktor mobilisasi, faktor pemicu, faktor kesempatan dan kejahatan kekerasan.