Kamis, 20 Oktober 2011

ANALISIS UU TIPIKOR dan UU MONEY LAUNDRYING dalam PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI


1. ANALISIS UU TIPIKOR ( UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 )

Pada awalnya korporasi atau badan hukum (rechtpersoon) adalah subjek yang hanya dikenal di dalam hukum perdata. Apa yang dinamakan badan hukum itu sebenarnya adalah ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang diberi status sebagai subjek hukum, di samping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah (natuurlijk persoon). Dengan berjalannya waktu, pesatnya pertumbuhan ekonomi dunia yang mengarah ke globalisasi dimana memberikan peluang yang besar akan tumbuhnya perusahaan-perusahaan transnasional, maka peran dari korporasi makin sering kita rasakan bahkan banyak memengaruhi sektor-sektor kehidupan manusia. Dampak yang kita rasakan menurut sifatnya ada dua yaitu dampak positf dan dampak negatif. untuk yang berdampak positif, kita sependapat bahwa itu tidak menjadi masalah namun yang berdampak negatif inilah yang saat ini sering kita rasakan.

TIPIKOR diatur dalam UU No 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001. Dalam Bab I UU No. 31 tahun 1999 mengenenai TIPIKOR pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik badan hukum maupun bukan merupakan badan hukum. Sebenarnya kejahatan korporasi (corporate crime) sudah dikenal lama dalam ilmu kriminologi. Di kriminologi sendiri corporate crime merupakan bagian dari kejahatan kerah putih (white collar crime). White collar crime sendiri diperkenalkan oleh pakar kriminologi terkenal yaitu E.H. Sutherland (1883-1950) dalam pidato bersejarahnya yang dipresentasikan "...at the thirty-fourth annual meeting of the American Sociological Society ini Philadelphia on 27 December 1939". semenjak itu banyak pakar hukum maupun kriminologi mengembangkan konsep tersebut.

Tahun 1984, terjadi suatu tragedi yang menggemparkan dunia dimana terjadi bencana kimiawi akibat kebocoran gas pada pabrik milik Unicon Carbide India Limited, di Bhopal India. Tragedi tersebut kita kenal dengan Tragedi Bhopal, kejadian tersebut terjadi akibat buruknya sistem pengamanan dan tindakan penghematan baiaya yang berlebihan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. efek dari peristiwa tersebut dapat dirasakan hingga 20 tahun.

Tragedi Bhopal hanyalah sebagian kecil dari peristiwa yang diakibat oleh kegiatan korporasi di dunia ini. Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan dampak negatif dari kegiatan korporasi. Di Indonesia mungkin peristiwa yang masih hangat yaitu peristiwa munculnya sumber lumpur di sidoarjo yang diindikasikan disebabkan oleh kegiatan pengeboran yang tidak memenuhi standar dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas. Akibat peristiwa tersebut ribuan orang kehilangan tempat tinggal akibat terendam lumpur, belum lagi industri-industri disekitar semburan lumpur yang harus tutup akibat tidak bisa berproduksi yang mengakibatkan ribuan orang kehilangan pekerjaannya.

Dalam perjalanannya pemikiran mengenai corporate crime, banyak menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum khususnya hukum pidana. Di hukum pidana ada doktrin yang berkembang yaitu doktrin 'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''universitas_delinquere_non_potest''&action=edit&redlink=1"'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''universitas_delinquere_non_potest''&action=edit&redlink=1"universitas delinquere non potestHYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''universitas_delinquere_non_potest''&action=edit&redlink=1"'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''universitas_delinquere_non_potest''&action=edit&redlink=1"' (korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana), ini dipengaruhi pemikiran, bahwa keberadaan korporasi di dalam hukum pidana hanyalah fiksi hukum yang tidak mempunyai mind, sehingga tidak mempunyai suatu nilai moral yang disyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal dalam suatu delik/Tindak pidana mensyaratkan adanya kesalahan (mens rea) selain adanya perbuatan (actus reus) atau dikenal dengan 'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''actus_non_facit_reum,_nisi_mens_sit_rea''&action=edit&redlink=1"'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''actus_non_facit_reum,_nisi_mens_sit_rea''&action=edit&redlink=1"actus non facit reum, nisi mens sit reaHYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''actus_non_facit_reum,_nisi_mens_sit_rea''&action=edit&redlink=1"'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''actus_non_facit_reum,_nisi_mens_sit_rea''&action=edit&redlink=1"'.

Namun masalah ini sebenarnya tidak menjadi masalah oleh kalangan yang pro terhadap pemikiran corporate crime. Menurut Mardjono Reksodiputro ada dua hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tindak pidana korporasi yaitu, pertama tentang perbuatan pengurus (atau orang lain) yang harus dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi dan kedua tentang kesalahan pada korporasi. Menurut pendapat beliau, hal yang pertama untuk dapat dikonstruksikan suatu perbuatan pengurus adalah juga perbuatan korporasi maka digunakanlah “asas identifikasi” . Dengan asas tersebut maka perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi, diidentifikasikan (dipersamakan) dengan perbuatan korporasi itu sendiri. Untuk hal yang kedua, memang selama ini dalam ilmu hukum pidana gambaran tentang pelaku tindak pidana masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pembuat (fysieke dader) namun hal ini dapat diatasi dengan ajaran “pelaku fungsional” (functionele dader) . Dengan kita dapat membuktikan bahwa perbuatan pengurus atau pegawai korporasi itu dalam lalu lintas bermasyarakat berlaku sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan maka kesalahan (dolus atau culpa) mereka harus dianggap sebagai keasalahan korporasi.

Di negara-negara Common Law System seperti Amerika, Inggris, dan Kanada upaya untuk membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability) sudah dilakukan pada saat Revolusi Industri. Menurut Remy Sjahdeini ada dua ajaran pokok yang menjadi bagi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut adalah doctrine of strict liability dan 'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''doctrine_of_vicarious_liability''&action=edit&redlink=1"'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''doctrine_of_vicarious_liability''&action=edit&redlink=1"doctrine of vicarious liabilityHYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''doctrine_of_vicarious_liability''&action=edit&redlink=1"'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''doctrine_of_vicarious_liability''&action=edit&redlink=1"'. Berdasarkan ajaran strict liability pelaku tindak pidana dapat diminta pertanggungjawabannya tanpa disyaratkannya adanya kesalahan sedangkan menurut ajaran vicarious liability dimungkinkan adanya pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan, misalnya oleh A kepada B.

Bila kita analisis dalam negara kita yang lebih condong kepada hukum yang dikodifikasikan yaitu sistem hukum civil law. Menurut analisis saya Pertanggungjawaban korporasi dalam UU ini masuk ke dalam Direct Coorporate Liability yang mana dalam paham ini menyebutkan perbuatan dan sikap batin dari orang – orang tertentu dari korporasi dianggap sebagai perbuatan dan sikap batin korporasi, korporasi bertanggung jawab secara pidana apabila ada pejabat sebior yang melakukan tindak pidana sepanjang perbuatan tersebut dilakukan dalam ruang lingkup kewenangannya atau dalam urusan transaksi perusahaan. Hal ini jelas tersirat dalam pasal 20 UU No. 31 tetang Pemberantasan TIPIKOR yang berisi :

1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.

2. Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.

5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).

Dalam hal ini jelas terlihat bahwa rumusan dalam paham Direct Liability terkandung dalam pasal 20 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan TIPIKOR, jadi dapat saya simpulkan bahwa UU No 31 Tahun 1991 jo. UU No 20 Tahun 2001 tentang TIPIKOR menganut paham Direct Liability.

Doktrin direct liability merupakan dasar pertanggungjawaban korporasi terhadap tindak pidana. Oleh karena itu korporasi bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat senior di dalam korporasi, sepanjang ia melakukannya dalam ruang lingkup kewenangan atau dalam urusan transaksi korporasi. Doktrin identifikasi atau direct liability doctrine ini di samping dapat digunakan untuk mempertanggungjawabkan korporasi di bidang hukum pidana, pada sisi lain juga dapat membatasi pertanggungjawaban korporasi. Apabila kejahatan dilakukan oleh karyawan atau agen yang tidak mempunyai status sebagai pejabat senior, korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan, kecuali undang-undang menetapkan dasar pertanggungjawaban yang lain.

Doktrin direct liability, secara khusus dikembangkan demi menerapkan tanggung jawab korporasi, dan pada dasarnya bertujuan untuk meniru pembebanan tanggung jawab terhadap manusia. Doktrin direct liability ini bergantung pada personifikasi badan hukum. Doktrin ini mengidentifikasi pola tindakan dan pikiran dari individu tertentu dalam korporasi – yang disebut dengan istilah organ korporasi – yang bertindak dalam ruang lingkup kewenangan mereka dan atas nama badan korporasi, sebagai tindakan dari korporasi itu sendiri.

Proses identifikasi ini kemudian menjadi dasar dari proses imitasi. Suatu korporasi dapat dianggap bertanggung jawab pidana atas kejahatan pidana, sama seperti tanggung jawab yang dibebankan pada pelaku manusia, dengan tetap terbatasi oleh keterbatasan-keterbatasan alami yang mengikuti karakter korporasi sebagai suatu kepribadian hukum.

Perlu diketahui bahwa doktrin direct liability, sama seperti doktrin vicarious liability, mengikuti proses dua tahap. Pertama-tama, tindakan manusia yang dipertimbangkan; proses identifikasi ini kemudian dilakukan secara terpisah untuk melihat apakah pantas dalam keadaan tersebut untuk menganggap seorang manusia tertentu sebagai organ korporasi.

2. ANALISIS UU MONEY LAUNDRYING ( UU No. 15 Tahun 2002 jo. UU No. 25 Tahun 2003 )

Pencucian uang (Inggris:Money laundering) adalah suatu upaya untuk menyembunyikan asal usul uang atau kekayaan hasil kejahatan melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau harta tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang legal.

Di Indonesia, hal ini diatur secara yuridis dalam UU RI No. 15/2002 tentang tindakan pidana pencucian uang, di mana pencucian uang dibedakan dalam dua tindak pidana.

Pertama, tindak pidana aktif, di mana seseorang dengan sengaja menempatkan, mentransfer, menghibahkan, menbayarkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan uang-uang hasil tindak pidana dengan tujuan mengaburkan atau menyembunyikan asal usul uang itu, sehingga muncul seolah-olah sebagai uang yang sah.

Kedua, dalam pasal 6 UU RI No. 15/2002, disebutkan tentang tindak pidana pencucian yang pasif yang dikenakan kepada setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, penerima hibah, sumbangan, penitipan, penukaran uang-uang yang berasal dari tindak pidana itu, dengan tujuan sama yaitu untuk mengaburkan, menyembunyikan asal-usulnya. Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang.

Sanksinya cukup berat, dimulai dari hukuman penjara lima tahun minimum, maksimum 15 tahun, dengan denda minimum lima milyar dan maksimum 15 miliar rupiah.

Dalam pasal 4 UU No.22 Tahun 2002 dijelaskan :

1. Apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus dan/atau kuasa pengurus atas nama korporasi, maka penjatuhan pidana dilakukan baik terhadap pengurus dan/atau kuasa pengurus maupun terhadap korporasi.

2. Pertanggungjawaban pidana bagi pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.

3. Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pengurus yang mengatasnamakan korporasi, apabila perbuatan tersebut dilakukan melalui kegiatan yang tidak termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.

4. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di sidang pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

5. Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

Terkait pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana money laundrying, rumusan tersebut memenuhi paham Vicarious Liability yang mana dalam Vicarious Liability dijelaskan.

Bila kita analisis maka jenis pertanggungjawaban berdasar pasal 4 UU No. 25 Tahun 2003 termasuk dalam pertanggungjawaban Vicarious Liability, yang mana menurut ajaran vicarious liability (ajaran pertanggungjawaban vikarius), seseorang dimungkinkan untuk harus bertanggung jawab terhadap perbuatan orang lain. Jika ajaran ini diterapkan pada korporasi, maka korporasi dimungkinkan harus bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya atau mandatarisnya, atau siapa saja yang bertanggung jawab kepada korporasi tersebut. Artinya, apapun yang dilakukan seseorang manager ataupun majikan melalui agennya, hal ini sama dengan dia melakukannya sendiri. Atau dengan kata lain, hukum memandang bahwa tindakan agen ataupun karyawan merupakan tindakan yang dilakukan oleh kepala atau majikan, dan bahwa pengetahuan agen atau karyawan merupakan pengetahuan dari kepala atau majikan.

Model vicarious liability merupakan suatu bentuk model adaptasi yang sangat jelas, oleh karena pada awalnya, model ini digunakan untuk memperluas ruang lingkup tanggung jawab pidana dan membuat tanggung jawab tersebut menjadi bisa dibebankan dalam kondisi yang telah diatur, pada seorang kepala atau pemilik korporasi atas tindakan yang dilakukan oleh agen ataupun karyawannya. Dan, jika dilihat dari sejarah pembentukan model ini, teori atau doktrin atau ajaran vicarious liability diambil dari Hukum Perdata yang diterapkan ke dalam Hukum Pidana. Ajaran ini mengatur tentang perbuatan melawan hukum berdasarkan doctrine of respondeat superior.

Doktrin vicarious liability yang memberikan dasar bagi korporasi untuk bertanggung jawab atas tindakan agen-agennya atau karyawannya (tidak peduli apa posisi agen atau pegawai tersebut dalam hirarki korporasi juga apa jenis pelanggarannya). Namun demikan, terdapat syarat yang harus dipenuhi untuk korporasi bertanggungjawab atas tindakan agen-agennya atau karyawannya, yaitu:
1. Agen tersebut bertindak dalam ruang lingkup pekerjaannya, memiliki kewenangan untuk bertindak untuk korporasi yang berkaitan dengan bisnis korporasi tertentu yang telah dilakukan secara tercela dan merupakan kejahatan pidana;
2. Agen tersebut bertindak, setidaknya sebagian dari tujuannya untuk memajukan kepentingan bisnis korporasi tersebut.

Suatu korporasi hanya dapat dibebani pertanggungjawaban secara vikarius terhadap tindakan yang dilakukan oleh pegawainya atau kuasanya, namun dalam hal perbuatan tersebut dilakukan dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai pegawai atau kuasa dari korporasi tersebut. Secara a contrario hal itu berarti seorang pemberi kerja tidak harus memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawainya apabila perbuatan itu dilakukan di luar atau tidak ada hubungan dengan tugasnya.

Metode Penelitian Hukum lebih condong kedalam filsafat (what is ? ) , ilmu (why ? ) atau etika (what ought ? ) ?

1. Menurut saudara Metode Penelitian Hukum lebih condong kedalam filsafat (what is ? ) , ilmu (why ? ) atau etika (what ought ? ) ?

Jawab :

Bila diperhatikan secara seksama memang terlihat bahwa Metode Penelitian Hukum (MPH ) agaknya memiliki ketiga unsur tersebut. Mengutip pendapat beberapa orang teman saya, didalam metode penelitian hukum tentu dilakukan untuk mencari hakikat dari suatu permasalahan dan mendapatkan suatu jawaban yang paling benar pada hakikatnya, hal ini dilihat dari sisi ke filsafatannya untuk mencari hakikat dari sesuatu, menurut beberapa orang . Dari unsur Ilmu maka sebagian kecil mengatakan bahwa Metode Penelitian termasuk kedalam ilmu, dari jawaban yang paling sepele karena Metode Penelitian Hukum di masukkan kedalam mata kuliah yang diampu dalam Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, dan mungkin juga dalam fakultas – faklulatas hukum di universitas lainnya maka MPH adalah sebuah Ilmu, jika bukan ilmu kenapa harus dipelajari, jawaban ringan beberapa teman. Dan sebagian lagi melihatnya sebagai etika karena pada dasarnya MPH itu mencoba melakukan pencerminan antara kesusaian antara teori dan praktek.

Menurut saya sendiri, bahwa bila ada pertanyaan seperti diatas dan lebih condong kemanakah MPH ( Metode Penelitian Hukum ), maka saya lebih melihatnya lebih condong kepada etika, disini saya melihatnya bahwa MPH mencoba mencari refleksi bagaimana seharusnya. Alasan saya mengatakan bahwa MPH lebih condong kepada etika adalah sbb :

a. MPH tidak bisa dikatakan memliki semua ketiga landasan ilmu.

Untuk dikatakan sebagai ilmu maka harus memenuhi 3 landasan keilmuan yaitu Epistemology, ontology dan axiology.

Dari sisi ontologi sendiri berbicara mengenai hakikat dari kajian suatu ilmu. Dalam MPH kita lihat dia memiliki objek kajian yaitu permasalahan hukum (meskipun permasalahannya terbilang luas), namun kita masih bisa seakan memksakan bahwa MPH memenuhi unsur ini meskipun objeknya terbilang luas yaitu masalah hukum apapun itu.

Dari sisi Axiology yang membicarakan landasan ilmu tentang tujuan dan manfaat maka MPH memberikan manfaat dengan mencari jawaban dari suatu permasalahan tersebut sehingga memberikan pemecahan dari suatu permasalahan.

Dari sisi epistemology sendiri yang merupakan landasan ilmu tentang cara untuk memperoleh pengetahuan yang benar atau metode mempelajarinya. Namun saya melihat bahwa MPH disini merupakan metode itu sendiri, MPH adalah sauatu metode yang dapat dipakai sebagai proses untuk mendapatkan ilmu. Oleh karenanya saya berpikir bahwa MPH tidak memiliki unsur Epistemologi karena MPH adalah suatu metode itu sendiri, jika memenuhi unsur ini maka akan sedikit ganjil kita katakan bahwa metode untuk memperlajari suatu metode. Oleh karenanya saya berpandangan MPH tidak bisa dikatakan memenuhi unsur ini sehingga menurut saya MPH bukan Ilmu.

b. Tujuan akhirnya bukan sekedar hakikat mencari jawaban permasalahan saja (kefilsaftanya) tetapi lebih menitik beratkan bagaimana seharusnya pada akhirnya.

Dilihat dari sisi filsafat untuk mencari hakikat dari sesuatu, maka aapakah hakikat yang dicari oleh MPH? Kita dapat mengatakan bahwa MPH mencari jawaban dari hakikat permasalahan hukum itu sendiri, meskipun permasalahan disni agak sedikit luas nampaknya tidak bisa dikotakkan namun yang jelas permasalahan hukum tentunya. Jika kita lihat prosesnya dari permasalahan hukum kemudian kita dapat mengkaji dan mencari jawaban dari permasalahan tersebut, didalamnya kita akan menemukan jawaban yang sebenarnya, hakikat dari suatu permasalahan hukum (dari kefilsafatan nya untuk mencari hakikat sesuatu) . Tapi apakah akan berhenti sampai pada jawaban dan hakikatnya itu sendiri? Meunurut saya tidak, namun dari jawaban tersebut kemudian kita mencoba mereflesikan kesesuaian anatara teori yang ada dan prakteknya lalu bagaimana yang seharusnya. Inilah intinya mengapa saya berpendapat bahwa MPH lebih condong kepada etika atau refleksi bagaimana seharusnya itu sendiri bukan hanya sekedar mencari jawaban atau hakikat dari suatu permasalahan dari pandangan orang – orang yang memandang nya sebagai filsafat dan bukan hanya sekedar mencari jawaban permasalahan saja dari orang – orang yang memandangnya sebagai Ilmu atau bahkan dengan jawaban beberapa orang yang ringan menjawab karena dipelajari dalam fakultas hukum ini maka ini adalah ilmu, bukan itu. Tapi saya melihat bahwa tujuan akhirnya adalah bagaimana mereflesikan antara kesusaian antara teori – teori yang ada dalam hal ini teori – teori hukum dengan praktek yang ada, dan kemudian bagaimana seharusnya. Itulah inti dari Metode Penelitian Hukum menurut saya, sehingga saya lebih mengatakan bahwa MPH lebih condong termasuk kedalam etika ( What Ought ? ) di bandingkan dengan Ilmu dan Filsafat iru sendiri, walau seakan terlihat memiliki ketiga unsur tersebut.

Minggu, 26 Juni 2011

KEJAHATAN KORPORASI

Februari 10, 2004.
Kejahatan korporasi (corporate crime) lagi-lagi menjadi berita. Lanjutan kasus Pencemaran Teluk Buyat oleh Korporasi Newmont terus menarik perhatian media dan publik. Berbagai kalangan mulai dari kepolisian, LSM, pemerintah pusat dan daerah, akademisi, pemerhati lingkungan sampai Dubes AS menaruh perhatian pada kasus ini. Meski pernyataan Dubes AS senada dengan permintaan pemda Sulut, yakni agar para tersangka tidak ditahan, tak urung pernyataan itu menuai reaksi keras publik yang menganggapnya sebagai bentuk intervensi proses hukum. Anggapan bahwa penegakan hukum terhadap kasus pencemaran ini akan menurunkan minat investor (asing) perlu dikritisi lebih lanjut, dan menjadi salah satu alasan tulisan ini.

Curah perhatian kalangan berotoritas dengan tuntutan dan harapan yang acap berseberangan menunjukkan turunan sifat khas kejahatan korporasi. Berbagai ilustrasi dalam tulisan ini dari negara asalnya mungkin membantu memahami berbagai kritik terhadap pernyataan Dubes AS.
Di wilayah akademis, kejahatan korporasi biasanya dimasukan sebagai bagian dari kejahatan kerah putih. Kekhasannya adalah kejahatan ini dilakukan oleh korporasi atau agen-agennya (manager, karyawan, pemilik) terhadap anggota masyarakat, lingkungan, kreditur, investor atau pun saingannya Di Indonesia belum lah tersedia data memadai yang memberi gambaran menyeluruh tentang rentang dan akibat dari jenis kejahatan ini. Tetapi di Australia, total kerugian dari kejahatan korporasi lebih besar dari total kerugian dari seluruh kejahatan individual (Biles: 1987).

Cakupan wilayah kejahatan korporasi sangat beragam. Setidaknya ada 10 wilayah pokok kejahatan korporasi: pelanggaran peraturan sekuritas, penggelapan pajak, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, perusakan lingkungan, penipuan konsumen, praktek perdagangan yang monopolistis, pelanggaran atas standard makanan, pelanggaran prinsip kehati-hatian, pelanggaran atas hak karyawan dan praktek-praktek diskriminatif (Grabosky dan Braithwaite: 1987). Dari 10 wilayah kejahatan itu ada ratusan ribu turunan kejahatan korporasi. Sedemikian banyaknya lubang hukum yang terbuka di negara semaju Amerika, sampai Prof. Kanna (2004) menaksir masih dibutuhkan 300.000 peraturan federal sebagai jaring penjegah semua praktek kejahatan korporasi!

Kerugian akibat kejahatan korporasi sering sulit dihitung karena akibat yang ditimbulkannya berganda-ganda, sementara hukuman atau denda pengadilan acap tidak mencerminkan tingkat kejahatan mereka. Beberapa data dapat mengilustrasikan hal itu. FBI memperkirakan kerugian karena pencurian-perampokan di Amerika rata-rata 3,8 milyar dolar per tahun, sementara kejahatan korporasi: berkisar 200-500 milyar dolar (di antaranya 100-400 milyar dolar kejahatan medis, 40 milyar dolar di bidang otomotif, 15 milyar dolar penipuan sekuritas). Antara 1992 sampai 2002 Komisi Sekuritas AS hanya berhasil menghukum 87 kasus dari 609 kasus yang dibawa kepengadilan. Hukuman kurungan rata-rata pelaku kejahatan korporasi cuma 36 bulan, jauh lebih kecil dari pada masa hukuman rata-rata 64 bulan bagi pelaku kriminal tanpa kekerasan (mabuk, mencuri dsb) yang baru pertama melakukan kejahatan.

Di Jepang, 1999, kecelakaan reaktor nuklir JCO yang mengakibatkan dua pekerja meninggal dan penduduk Tokaimura terkena radiasi, memberi hukuman denda hanya 8500 dolar dan menunda hukuman bagi enam eksekutifnya (New Internationalist, Juli 2003).

Analisis Kasus Dari Sudut Pandang Kriminologi :

Dari sisi kriminologi kita dapat memunculkan beberapa pertanyaan terkait kasus kejahatan korporasi Newmont yang terjadi bahkan kasus korporasi yang acap kali terjadi bahkan di Jepang dan Amerika. Kriminologi sendiri adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari kejahatan dari berbagai aspeknya. Memberikan jawaban atas pertanyaan kenapa kejahatan itu bisa terjadi ? dalam hal ini kejahatan korporasi dan mengapa jenis kejahatan korporasi ini yang terjadi dan bagaimana dampaknya dirasakan masyarakat dan kemudian bagaimana tanggapan masyarakat atas kejahatan korporasi yang terjadi tersebut. Lalu dari sisi kriminologi yang mencari latar belakang terjadinya kasus korporasi ini menghadirkan beberapa pertanyaan seperti : Apakah hukum akan menimbulkan efek jera atau takut bagi pelaku kejahatan korporasi? Akankah penegakan hukum akan membuat investor berpikir ulang guna berinvestasi? Dengan berbagai ilustrasi di atas, jawabannya mudah diduga: sama sekali tidak menakutkan. Pada dasarnya memang kriminologi tidak memberikan jalan keluar atas suatu tindak kejahatan yang terjadi namun hanya memberika penjelasan atas suatu tindak kejahatan ( give explanation ) yang memberikan jalan keluar adalah pengambil keputusan ( decision maker ) setelah mendapatkan penjelasan dari kriminologi itu sendiri.

Bila kita lihat dari sisi kriminologi kenapa kejahatan korporasi seperti beberapa contoh kasus diatas dapat terjadi kita akan mendapatkan jawabannya bahwa pada dasarnya dibanding keuntungan masif korporasi, pinalti hukuman tidak lah berarti banyak. Dalam prakteknya denda hukum sekedar dihitung sebagai biaya produksi tanpa sepeserpun mengurangi keuntungan korporasi. Maka, argumen yang mengatakan bahwa penegakan hukum akan membuat investor takut menanam modal dapat saya katakan tidak didukung oleh alasan empirik.

Bicara tentang hukum, sama seperti juga hukum lainnya termasuk kejahatan jalanan, hukum atas kejahatan korporasi adalah sebuah persoalan politis. Yang terjadi dalam peristiwa politis adalah tawar-menawar yang mencari keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara. Celakanya, dalam sistem yang demokratis rata-rata kekuatan menawar warga telah ditransfer kepada institusi-institusi besar yang menghilangkan akuntabilitas publik.

Sekian banyak komponen kontrol, kekuatan dan ketiadaan tanggung jawab korporasi menjadi jaring-jaring yang mengkakangi otoritas pemerintah. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa korporasi menjadi penyumbang terbesar dalam kampanye-kampanye. Lagi di Amerika, di tahun 2000, 1,2 milyar dolar (75% dana kampanye) masuk ke kantong Partai Rebulik maupun Demokrat (bandingkan jumlah tersebut dengan jumlah yang didapat dari kejahatan korporasi). Sekitar 94% kandidat yang memperoleh uang korporasi memenangkan pemilu. Akibatnya, pemerintah di negara demokratis dirasa semakin tidak responsif terhadap opini publik dan korporasi-korporasi yang mendapat keuntungan dari sistem itu hampir seluruhnya tidak akuntabel.

Cara lain yang menyerang langsung jantung kekuatan korporasi tetapi kurang mendapat perhatian di ranah publik adalah: penghilangan beberapa “hak-hak” konstitusional korporasi yang selama ini mereka nikmati. Para ahli hukum (korporasi dan konstitusi) sudah lama mendebatkan bahwa tersedianya lubang-lubang hukum yang memungkinkan korporasi melakukan praktek kotor itu adalah turunan dari pre-asumsi hukum yang menempatkan korporasi sebagai “person” di hadapan hukum; dan karenanya berhak atas perlindungan-perlindungan konstitusional sama seperti “natural person”.
Maka salah satu upaya mendasar yang dapat dilakukan guna melawan kekuatan korporasi (sambil tetap menjaga sisi positifnya) adalah mengakhiri sebagian personalitas korporasi yang membuatnya terlalu kuat.

Dengan menolak personalitas korporasi, demokrasi kembali mendapatkan rohnya, yakni diakhirnya kedaulatan uang dan tegaknya supremasi kedaulatan rakyat. Sampai di batas ini, kita perlu menengok pada momen-momen politik yang sekarang sedang berlangsung di Tanah Air. Hari-hari ini kesibukan sedang berlangsung di istana wakil rakyat, Senayan. Sidang-sidang DPD, DPR dan MPR menjadi hayatan yang menguras biaya tidak sedikit. Salah satu agenda wakil rakyat adalah amandemen konsitusi.

Perlindungan itu tidak lain berupa penegasan bahwa hanya rakyat, individu, “natural person”, yang mempunyai hak-hak demokratis dan perlindung konstitusional, sembari membatasi personalitas korporasi pada tingkat paling minimal dan menegaskan kewajiban dasarnya. Korporasi harus dianggap sebagai fiksi legal yang wajib tunduk pada kepentingan dan kedaulatan rakyat dan ditujukan guna memberi pelayanan publik.

Menghadapi pertarungan ini tak ayal korporasi akan menyisihkan sebagian (kecil) uang mereka tetapi sudah cukup guna menyilaukan mata petualang dan para lintah politik. Lalu, sejarah berulang seperti dulu ketika para pangeran kerajaan di Nusantara ini menekukkan lutut mereka di hadapan kapitalis VOC sembari mengkakangi rakyat jelata.

Maka, dari sisi kriminologi telah memberikan jawaban kejahatan korporasi yang acap kali terjadi ini diakibatkan oleh hukum yang ada tidak memberikan efek jera kepada pelaku – pelaku kejahatan korporasi itu sendiri, seperti denda yang diberikan bahkan tidak memberikan kerugian sama sekali kepada korporasi yang telah melakukan pelanggaran hukum, terlebih bahwa denda yang harus dibayar tidak mempengaruhi keuntungan yang telah didapat oleh korporasi dari kejahatan dan pelanggarannya yang telah dilakukan. Terlebih bahwa menaruh korporasi sebagai person memberikan perlindungan kepada korporasi tersebut dari jaring hukum, memberikan celah untuk meloloskan diri dari jaring hukum. Oleh karena itu disini kriminologi telah memberikan jawaban dan penjelasan atas kejahatan korporasi yang acap kali terjadi, seharusnya segenap komponen bangsa bersehati mendesak wakil-wakil rakyat guna membendung kekuatan sisi jahat korporasi dan melindungi hak-hak demokratis rakyat melalui amandemen konstitusi.

Saya beranggapan, sekiranya hal itu sungguh terjadi, bangsa Indonesia akan dicatat dalam sejarah dunia sebagai bangsa yang secara konstitusional memberi perlawanan dan memenangkan rakyat atas sisi jahat korporasi. Tentu saja angan-angan ini hanya bisa dipikul para pemimpin bangsa yang tidak akan pernah gentar melawan kekuatan besar korporasi.

Lembaga Ombudsman RI kurang di Kenal Rakyat

Pelayanan dari pemerintah daerah (pemda) paling banyak dikeluhkan dan dilaporkan ke Ombudsman Indonesia. "Berdasarkan laporan masyarakat yang ditindaklanjuti secara formal, instansi penyelenggara pelayanan publik yang terbanyak dilaporkan adalah pemerintah daerah," ujar Ketua Ombudsman Indonesia Antonius Sujata dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR, Senin (17/5).

Sujata memaparkan jumlah masyarakat yang memberikan laporan terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, sejak sampai dengan April 2010, tercatat ada 1.010. Dari jumlah tersebut, 358 laporan di antaranya telah ditindaklanjuti sesuai kewenangan Ombudsman. Sementara sisanya diselesaikan melalui konsultasi ataupun penjelasan.

Berdasarkan laporan yang ditindaklanjuti tersebut, Antonius mengatakan instansi penyelenggara pelayanan publik yang terbanyak dilaporkan adalah pemerintah daerah, terutama tingkat kabupaten/kota, dengan 94 laporan atau 26,26 persen. Diikuti kepolisian 77 laporan atau 21,51 persen, lembaga peradilan 60 laporan atau 16,76 persen, Badan Pertanahan Nasional 31 laporan atau 8,66 persen, dan kementerian 25 laporan atau 6,98 persen.

Mengenai substansi laporan, dia mengatakan penundaan berlarut-larut merupakan yang terbanyak dengan 188 laporan atau 52,51 persen. Penyalahgunaan wewenang menempati urutan kedua dengan jumlah 66 laporan atau 18,44 persen. "Lainnya keberpihakan sebanyak 41 laporan atau 11,45 persen, penyimpangan prosedur 24 laporan atau 6,70 persen, dan tidak kompeten 18 laporan atau 5,03 persen," paparnya.

Wakil Ketua Ombudsman Indonesia Sunaryati Hartono mengakui keberadaan Ombudsman belum populer. "Biasanya masalah yang dihadapi oleh Ombudsman itu binatang apa itu. Tidak mengherankan karena SH saja banyak yang belum tahu," kata dia. Sunaryati memaparkan karena lembaganya bertugas sebagai pengawas birokrasi, banyak yang mengira hasil akhir kerja Ombudsman berakhir seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni mengajukan surat dakwaan ke pengadilan. Lembaga itu, kata Sunaryati, hanya bertugas memperbaiki kinerja birokrasi.

Analisis

Yang menjadi salah satu masalah disini adalah Ombudsman yang belum merakyat dan masih jarang dikenal oleh masyarakat itu sendiri, bahkan lebih parahnya banyak sarjana hukum yang masih kurang mengenal akan Ombudsman RI.

Mengutip pendapat dari Ketua Lembaga Ombudsman RI (LORI) Antonius Sujata SH.MH. mengatakan fungsi utama LORI sesuai UU No.37/2008 mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik.

Pelayanan publik itu sendiri diselenggarakan oleh pemerintahan, BUMN, BUMD, BHMN, Badan swasta atau perseorangan. Peran Ombudsman sendiri pasca disahkannya UU No.37/2008 terkait dengan perannya mendorong keterbukaan informasi publik dan pencegahan korupsi.

Dia mengemukakan Ombudsman didirikan selain untuk menghadapi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur pemerintah dan membantu aparatur agar melaksanakan pemerintahan secara efisien dan adil, juga untuk mendorong pemegang kekuasaan melaksanakan pertanggungjawaban serta pelayanan secara baik. Hak memperoleh informasi merupakan hak asasi setiap manusia, sesuai Pasal 8 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyebut bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggungjawab pemerintah.
Melihat fungsinya yang begitu besar sebagai salah satu upaya pencegah tidak pidana korupsi seharusnya Ombudsman harus lebih mengenalkan profil diri kepada masyarakat, sehingga diharapkan dengan hal tersebut akan lebih memudahkan masyarakat sendiri dalam membantu dalam pencegahan korupsi. Namun melihat fakta banyak masyarakat yang kurang mengenal Ombudsman itu sendiri muncul permasalahan bagaimana bisa Ombudsman menjalankan funsgi dan perannya dalam praktik kenegaraan.

Menurut yang paling esensial dilakukan saat ini sebagai langkah utama adalah dengan melakukan penyuluhan, seminar – seminar akan pengenalan Lembaga Ombudsman RI itu sendiri di berbagai tempat di seluruh wilayah – wilayah Indonesia itu sendiri. Menurut saya sendiri itu adalah langkah awal yang harus dilakukan, karena untuk menjalankan fungsi dan perannya masyarakat perlu mengenal LORI itu sendiri.