Kamis, 20 Oktober 2011

ANALISIS UU TIPIKOR dan UU MONEY LAUNDRYING dalam PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI


1. ANALISIS UU TIPIKOR ( UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 )

Pada awalnya korporasi atau badan hukum (rechtpersoon) adalah subjek yang hanya dikenal di dalam hukum perdata. Apa yang dinamakan badan hukum itu sebenarnya adalah ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang diberi status sebagai subjek hukum, di samping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah (natuurlijk persoon). Dengan berjalannya waktu, pesatnya pertumbuhan ekonomi dunia yang mengarah ke globalisasi dimana memberikan peluang yang besar akan tumbuhnya perusahaan-perusahaan transnasional, maka peran dari korporasi makin sering kita rasakan bahkan banyak memengaruhi sektor-sektor kehidupan manusia. Dampak yang kita rasakan menurut sifatnya ada dua yaitu dampak positf dan dampak negatif. untuk yang berdampak positif, kita sependapat bahwa itu tidak menjadi masalah namun yang berdampak negatif inilah yang saat ini sering kita rasakan.

TIPIKOR diatur dalam UU No 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001. Dalam Bab I UU No. 31 tahun 1999 mengenenai TIPIKOR pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik badan hukum maupun bukan merupakan badan hukum. Sebenarnya kejahatan korporasi (corporate crime) sudah dikenal lama dalam ilmu kriminologi. Di kriminologi sendiri corporate crime merupakan bagian dari kejahatan kerah putih (white collar crime). White collar crime sendiri diperkenalkan oleh pakar kriminologi terkenal yaitu E.H. Sutherland (1883-1950) dalam pidato bersejarahnya yang dipresentasikan "...at the thirty-fourth annual meeting of the American Sociological Society ini Philadelphia on 27 December 1939". semenjak itu banyak pakar hukum maupun kriminologi mengembangkan konsep tersebut.

Tahun 1984, terjadi suatu tragedi yang menggemparkan dunia dimana terjadi bencana kimiawi akibat kebocoran gas pada pabrik milik Unicon Carbide India Limited, di Bhopal India. Tragedi tersebut kita kenal dengan Tragedi Bhopal, kejadian tersebut terjadi akibat buruknya sistem pengamanan dan tindakan penghematan baiaya yang berlebihan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. efek dari peristiwa tersebut dapat dirasakan hingga 20 tahun.

Tragedi Bhopal hanyalah sebagian kecil dari peristiwa yang diakibat oleh kegiatan korporasi di dunia ini. Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan dampak negatif dari kegiatan korporasi. Di Indonesia mungkin peristiwa yang masih hangat yaitu peristiwa munculnya sumber lumpur di sidoarjo yang diindikasikan disebabkan oleh kegiatan pengeboran yang tidak memenuhi standar dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas. Akibat peristiwa tersebut ribuan orang kehilangan tempat tinggal akibat terendam lumpur, belum lagi industri-industri disekitar semburan lumpur yang harus tutup akibat tidak bisa berproduksi yang mengakibatkan ribuan orang kehilangan pekerjaannya.

Dalam perjalanannya pemikiran mengenai corporate crime, banyak menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum khususnya hukum pidana. Di hukum pidana ada doktrin yang berkembang yaitu doktrin 'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''universitas_delinquere_non_potest''&action=edit&redlink=1"'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''universitas_delinquere_non_potest''&action=edit&redlink=1"universitas delinquere non potestHYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''universitas_delinquere_non_potest''&action=edit&redlink=1"'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''universitas_delinquere_non_potest''&action=edit&redlink=1"' (korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana), ini dipengaruhi pemikiran, bahwa keberadaan korporasi di dalam hukum pidana hanyalah fiksi hukum yang tidak mempunyai mind, sehingga tidak mempunyai suatu nilai moral yang disyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal dalam suatu delik/Tindak pidana mensyaratkan adanya kesalahan (mens rea) selain adanya perbuatan (actus reus) atau dikenal dengan 'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''actus_non_facit_reum,_nisi_mens_sit_rea''&action=edit&redlink=1"'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''actus_non_facit_reum,_nisi_mens_sit_rea''&action=edit&redlink=1"actus non facit reum, nisi mens sit reaHYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''actus_non_facit_reum,_nisi_mens_sit_rea''&action=edit&redlink=1"'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''actus_non_facit_reum,_nisi_mens_sit_rea''&action=edit&redlink=1"'.

Namun masalah ini sebenarnya tidak menjadi masalah oleh kalangan yang pro terhadap pemikiran corporate crime. Menurut Mardjono Reksodiputro ada dua hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tindak pidana korporasi yaitu, pertama tentang perbuatan pengurus (atau orang lain) yang harus dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi dan kedua tentang kesalahan pada korporasi. Menurut pendapat beliau, hal yang pertama untuk dapat dikonstruksikan suatu perbuatan pengurus adalah juga perbuatan korporasi maka digunakanlah “asas identifikasi” . Dengan asas tersebut maka perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi, diidentifikasikan (dipersamakan) dengan perbuatan korporasi itu sendiri. Untuk hal yang kedua, memang selama ini dalam ilmu hukum pidana gambaran tentang pelaku tindak pidana masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pembuat (fysieke dader) namun hal ini dapat diatasi dengan ajaran “pelaku fungsional” (functionele dader) . Dengan kita dapat membuktikan bahwa perbuatan pengurus atau pegawai korporasi itu dalam lalu lintas bermasyarakat berlaku sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan maka kesalahan (dolus atau culpa) mereka harus dianggap sebagai keasalahan korporasi.

Di negara-negara Common Law System seperti Amerika, Inggris, dan Kanada upaya untuk membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability) sudah dilakukan pada saat Revolusi Industri. Menurut Remy Sjahdeini ada dua ajaran pokok yang menjadi bagi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut adalah doctrine of strict liability dan 'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''doctrine_of_vicarious_liability''&action=edit&redlink=1"'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''doctrine_of_vicarious_liability''&action=edit&redlink=1"doctrine of vicarious liabilityHYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''doctrine_of_vicarious_liability''&action=edit&redlink=1"'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''doctrine_of_vicarious_liability''&action=edit&redlink=1"'. Berdasarkan ajaran strict liability pelaku tindak pidana dapat diminta pertanggungjawabannya tanpa disyaratkannya adanya kesalahan sedangkan menurut ajaran vicarious liability dimungkinkan adanya pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan, misalnya oleh A kepada B.

Bila kita analisis dalam negara kita yang lebih condong kepada hukum yang dikodifikasikan yaitu sistem hukum civil law. Menurut analisis saya Pertanggungjawaban korporasi dalam UU ini masuk ke dalam Direct Coorporate Liability yang mana dalam paham ini menyebutkan perbuatan dan sikap batin dari orang – orang tertentu dari korporasi dianggap sebagai perbuatan dan sikap batin korporasi, korporasi bertanggung jawab secara pidana apabila ada pejabat sebior yang melakukan tindak pidana sepanjang perbuatan tersebut dilakukan dalam ruang lingkup kewenangannya atau dalam urusan transaksi perusahaan. Hal ini jelas tersirat dalam pasal 20 UU No. 31 tetang Pemberantasan TIPIKOR yang berisi :

1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.

2. Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.

5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).

Dalam hal ini jelas terlihat bahwa rumusan dalam paham Direct Liability terkandung dalam pasal 20 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan TIPIKOR, jadi dapat saya simpulkan bahwa UU No 31 Tahun 1991 jo. UU No 20 Tahun 2001 tentang TIPIKOR menganut paham Direct Liability.

Doktrin direct liability merupakan dasar pertanggungjawaban korporasi terhadap tindak pidana. Oleh karena itu korporasi bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat senior di dalam korporasi, sepanjang ia melakukannya dalam ruang lingkup kewenangan atau dalam urusan transaksi korporasi. Doktrin identifikasi atau direct liability doctrine ini di samping dapat digunakan untuk mempertanggungjawabkan korporasi di bidang hukum pidana, pada sisi lain juga dapat membatasi pertanggungjawaban korporasi. Apabila kejahatan dilakukan oleh karyawan atau agen yang tidak mempunyai status sebagai pejabat senior, korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan, kecuali undang-undang menetapkan dasar pertanggungjawaban yang lain.

Doktrin direct liability, secara khusus dikembangkan demi menerapkan tanggung jawab korporasi, dan pada dasarnya bertujuan untuk meniru pembebanan tanggung jawab terhadap manusia. Doktrin direct liability ini bergantung pada personifikasi badan hukum. Doktrin ini mengidentifikasi pola tindakan dan pikiran dari individu tertentu dalam korporasi – yang disebut dengan istilah organ korporasi – yang bertindak dalam ruang lingkup kewenangan mereka dan atas nama badan korporasi, sebagai tindakan dari korporasi itu sendiri.

Proses identifikasi ini kemudian menjadi dasar dari proses imitasi. Suatu korporasi dapat dianggap bertanggung jawab pidana atas kejahatan pidana, sama seperti tanggung jawab yang dibebankan pada pelaku manusia, dengan tetap terbatasi oleh keterbatasan-keterbatasan alami yang mengikuti karakter korporasi sebagai suatu kepribadian hukum.

Perlu diketahui bahwa doktrin direct liability, sama seperti doktrin vicarious liability, mengikuti proses dua tahap. Pertama-tama, tindakan manusia yang dipertimbangkan; proses identifikasi ini kemudian dilakukan secara terpisah untuk melihat apakah pantas dalam keadaan tersebut untuk menganggap seorang manusia tertentu sebagai organ korporasi.

2. ANALISIS UU MONEY LAUNDRYING ( UU No. 15 Tahun 2002 jo. UU No. 25 Tahun 2003 )

Pencucian uang (Inggris:Money laundering) adalah suatu upaya untuk menyembunyikan asal usul uang atau kekayaan hasil kejahatan melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau harta tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang legal.

Di Indonesia, hal ini diatur secara yuridis dalam UU RI No. 15/2002 tentang tindakan pidana pencucian uang, di mana pencucian uang dibedakan dalam dua tindak pidana.

Pertama, tindak pidana aktif, di mana seseorang dengan sengaja menempatkan, mentransfer, menghibahkan, menbayarkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan uang-uang hasil tindak pidana dengan tujuan mengaburkan atau menyembunyikan asal usul uang itu, sehingga muncul seolah-olah sebagai uang yang sah.

Kedua, dalam pasal 6 UU RI No. 15/2002, disebutkan tentang tindak pidana pencucian yang pasif yang dikenakan kepada setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, penerima hibah, sumbangan, penitipan, penukaran uang-uang yang berasal dari tindak pidana itu, dengan tujuan sama yaitu untuk mengaburkan, menyembunyikan asal-usulnya. Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang.

Sanksinya cukup berat, dimulai dari hukuman penjara lima tahun minimum, maksimum 15 tahun, dengan denda minimum lima milyar dan maksimum 15 miliar rupiah.

Dalam pasal 4 UU No.22 Tahun 2002 dijelaskan :

1. Apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus dan/atau kuasa pengurus atas nama korporasi, maka penjatuhan pidana dilakukan baik terhadap pengurus dan/atau kuasa pengurus maupun terhadap korporasi.

2. Pertanggungjawaban pidana bagi pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.

3. Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pengurus yang mengatasnamakan korporasi, apabila perbuatan tersebut dilakukan melalui kegiatan yang tidak termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.

4. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di sidang pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

5. Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

Terkait pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana money laundrying, rumusan tersebut memenuhi paham Vicarious Liability yang mana dalam Vicarious Liability dijelaskan.

Bila kita analisis maka jenis pertanggungjawaban berdasar pasal 4 UU No. 25 Tahun 2003 termasuk dalam pertanggungjawaban Vicarious Liability, yang mana menurut ajaran vicarious liability (ajaran pertanggungjawaban vikarius), seseorang dimungkinkan untuk harus bertanggung jawab terhadap perbuatan orang lain. Jika ajaran ini diterapkan pada korporasi, maka korporasi dimungkinkan harus bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya atau mandatarisnya, atau siapa saja yang bertanggung jawab kepada korporasi tersebut. Artinya, apapun yang dilakukan seseorang manager ataupun majikan melalui agennya, hal ini sama dengan dia melakukannya sendiri. Atau dengan kata lain, hukum memandang bahwa tindakan agen ataupun karyawan merupakan tindakan yang dilakukan oleh kepala atau majikan, dan bahwa pengetahuan agen atau karyawan merupakan pengetahuan dari kepala atau majikan.

Model vicarious liability merupakan suatu bentuk model adaptasi yang sangat jelas, oleh karena pada awalnya, model ini digunakan untuk memperluas ruang lingkup tanggung jawab pidana dan membuat tanggung jawab tersebut menjadi bisa dibebankan dalam kondisi yang telah diatur, pada seorang kepala atau pemilik korporasi atas tindakan yang dilakukan oleh agen ataupun karyawannya. Dan, jika dilihat dari sejarah pembentukan model ini, teori atau doktrin atau ajaran vicarious liability diambil dari Hukum Perdata yang diterapkan ke dalam Hukum Pidana. Ajaran ini mengatur tentang perbuatan melawan hukum berdasarkan doctrine of respondeat superior.

Doktrin vicarious liability yang memberikan dasar bagi korporasi untuk bertanggung jawab atas tindakan agen-agennya atau karyawannya (tidak peduli apa posisi agen atau pegawai tersebut dalam hirarki korporasi juga apa jenis pelanggarannya). Namun demikan, terdapat syarat yang harus dipenuhi untuk korporasi bertanggungjawab atas tindakan agen-agennya atau karyawannya, yaitu:
1. Agen tersebut bertindak dalam ruang lingkup pekerjaannya, memiliki kewenangan untuk bertindak untuk korporasi yang berkaitan dengan bisnis korporasi tertentu yang telah dilakukan secara tercela dan merupakan kejahatan pidana;
2. Agen tersebut bertindak, setidaknya sebagian dari tujuannya untuk memajukan kepentingan bisnis korporasi tersebut.

Suatu korporasi hanya dapat dibebani pertanggungjawaban secara vikarius terhadap tindakan yang dilakukan oleh pegawainya atau kuasanya, namun dalam hal perbuatan tersebut dilakukan dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai pegawai atau kuasa dari korporasi tersebut. Secara a contrario hal itu berarti seorang pemberi kerja tidak harus memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawainya apabila perbuatan itu dilakukan di luar atau tidak ada hubungan dengan tugasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar