Rabu, 30 Mei 2012



SINKRONISASI SPP DIDALAM PERMA NO.2 TAHUN 2012 TERKAIT DENGAN SISTEM HUKUM MENURUT LAWRENCE M.FRIEDMAN (LEGAL STRUCTURE, LEGAL CULTURE DAN LEGAL SUBSTANCE)

Sistem Peradilan Pidana (SPP) berasal dari kata yaitu “sistem” dan “peradilan pidana”. Pemahaman mengenai ”sistem” dapat diartikan sebagai suatu rangkaian diantara sejumlah unsur yang saling terkait untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam pandangan Muladi, pengertian system harus dilihat dalam konteks, baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan dan sebagai abstract system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain saling ketergantungan.     
Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Akan tetapi, menurut Muladi kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. 
SPP merupakan suatu jaringan (Network) peradilan yang menggunakan huku pidana sebagai sarana utamanya baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.
Pengertian SPP sendiri dapat dilihat dari aspek sistem hukum yaitu Aspek Substansi Hukum (Legal Substance), Aspek Kultur Hukum (Legal Culture), dan Aspek Struktur Hukum (Legal Structure).
Pada hakekatnya dibentuknya sistem peradilan pidana mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan internal sistem dan tujuan eksternal. Tujuan internal, agar terciptanya keterpaduan atau sinkronisasi antar subsistem-subsistem dalam tugas menegakkan hukum. Sedangkan tujuan eksternal untuk melindungi hak-hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana sejak proses penyelidikan sampai proses pemidanaan. Dengan demikian, sebenarnya tujuan dari sistem peradilan pidana baru selesai apabila pelaku kejahatan telah kembali terintegrasi ke dalam masyarakat, hidup sebagai anggota masyarakat umumnya yang taat pada hukum.         
Akan jadi masalah ketika tidak ada sinkronisasi dalam aspek struktural, aspek kultural dan aspek substansial dalam penegakan hukum itu sendiri, kita akan sedikit membahas tentang Perma No. 2 Tahun 2012 terkait hal itu. Perma No.2 Tahun 2012 ini tentang Penyesuaian Batasan Tipiring dan Jumlah Denda Dalam KUHP.      
Bila kita analisis dari:
1.      Legal Substance (Aspek Substansi Hukum)        
Legal Substansi sendiri merupakan sistem penegakan substansi hukum HP (meliputi HP materiel, HP formal, dan Hk. Pelaksanaan pidana) disini harus ada keselarasan baik vertikal maupun horizontal dalam hukum positif yang berlaku. Bila kita perhatikan Perma No. 2 Tahun 2012 ini merupakan suatu bentuk penyelarasan subtansi hukum pidana yang diatur dalam hukum pidana materil (KUHP) hal ini terlihat dalam pasal 1 Perma No. 2 Tahun 2012 yang meyelaraskan pengaturan jumlah dalam pasal 364,373,379,384,407,482 menjadi Rp. 2.500.000 dikarenakan bahwa jumlah Rp. 250,- sudah tidak lagi relevan untuk dikenakan, kemudian daripada itu juga dalam pasal 3 Perma No.2 Tahun 2012 tersebut di sebutkan bahwa maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan 2 serta 303 bis ayat 1 dan 2 dilipatgandakan menjadi 1000 kali.
Sedang kan dalam HP Formal sendiri dalam Perma No. 2 Tahun 2012 ini diatur dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyebutkan bahwa dalam meerima pelimpahan perkara pencurian, penipuan , penggelapan, penadahan dari penuntut umum maka ketua pengadilan wajib memperhatikan nilai barang, pengaturan dalam ayat 2 lebih lanjut menyatakan bahwa bila perbuatan tersebut termasuk dalam tindak pidana ringan (tipiring), maka ketua pengadilan segera menetapkan  Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam pasal 205-210 KUHAP. Terkadang sebelum dikeluarkan Perma ini perbuatan yang seharusnya termasuk dengan tidak pidana ringan tapi dalam pemeriksaan yang dilakukan dengan proses pemeriksaan biasa sehingga hal itu yang dirasa kurang memberikan kepuasan dan memuaskan rasa kehausan rakyat atas keadilan.

2.      Legal Structure (Aspek Struktur Hukum)
Ini berbicara terkait dengan keselarasan dalam mekanisme administrasi peradilan pidana dalam  hubungan antar lembaga penegak hukum. Jika melihat Peraturan Mahkamah Agung no.2 Tahun 2012 yang dominan dalam menyelesaikan perkara itu adalah seorang hakim yang akan memeriksa perkara tersebut dengan Hakim Tunggal dan seorang Jaksa yang cermat dalam memeriksa dan memberikan tuntutan berkenaan dengan kasus yang termasuk tindak pidana ringan dan harus jeli menerapkan aturan hukumnya.  Peraturan ini tidak hanya berbicara mengenai batasan penyesesuai batasan jumlah denda, namun ada itikad baik dari MA untuk memperbaiki proses peradilan. Upaya memperbaiki proses peradilan berdasarkan kewenangan MA hanya dapat diterapkan di lingkungan pengadilan. Peraturan ini tidak mampu secara hukum menjangkau pihak lain yang berada pada sistem peradilan pidana seperti penyidik maupun penuntut.
Sehingga jika kita analisis dari Legal Structure sendiri hal ini merupakan suatu bentuk ketidak sinkronan antar lembaga peradilan dengan Lembaga Penyidik, seharusnya untuk menjaga keselarasan dan kesinkronan anatar lembaga aparat penegak hukum hal ini juga melingkupi lembaga penyidik, bukan saja penuntut bahkan dominan lembaga pengadilan itu sendiri dalam Perma No.2 Tahun 2012.

3.      Legal Culture (Aspek Kultur Hukum)
Legal Culture ini terkait usaha  serempak menghayati pandangan yang hidup dalam masyarakat yang mendasari jalan  nya SPP. Bila kita lihat latar belakang lahirnya Perma No.2 Tahun 2012 ini sendiri adalah untuk menyelaraskan jumlah denda yang ada dalam KUHP dengan keadaan Jumlah mata uang sat ini bukan mengubah denda itu sendiri. Hal ini terkait unutk memudahkan Hakim dalam memberi putusan yang seadil – adilnya kepada masyrakat untuk kasus – kasus yang sebenarnya tergolong tingan seperti kasus Mbo Minah, Maling Sendal Jepit Bolong, kasus pencurian Semangka dsb. Dari sudut kultur hukum ini sendiri dapat kita lihat bahwa Perma No. 2 Tahun 2012 ini merupakan suatu bentuk penyelarasan mendudukan kembali nilai – nilai yang hidup dalam masyarakat dengan peraturan hukum yang ada, yang mana selama ini terkesan tidak memberi pengampunan dan begitu klasik seolah kejahatan harus di beri penanganan yang sama tanpa memperhatikan keadilamn dan nilai – nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri, sehingga selama ini terkesan kultur hukum kita terlalu legisme semata.

Sinkronisasi dalam Sistem Peradilan Pidana yang terdapat (Legal Substance, Legal Structure dan Legal Culture) dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012.
Seperti disebutkan diawal bahwa pada hakekatnya dibentuknya sistem peradilan pidana mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan internal sistem dan tujuan eksternal. Tujuan internal, agar terciptanya keterpaduan atau sinkronisasi antar subsistem-subsistem dalam tugas menegakkan hukum. Sedangkan tujuan eksternal untuk melindungi hak-hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana sejak proses penyelidikan sampai proses pemidanaan. Dengan demikian, sebenarnya tujuan dari sistem peradilan pidana baru selesai apabila pelaku kejahatan telah kembali terintegrasi ke dalam masyarakat, hidup sebagai anggota masyarakat umumnya yang taat pada hukum.    
Dalam keselaran atau keserempakan untuk menjalankan aturan yang ada didalam peraturan tersebut maka harus adanya kesepamahan dari aparat penegak hukum dari Kepolisian, Penuntut Umum, Pengadilan / Hakim dan Lembaga Koreksi (Lapas) ini harus adanya koordinasi yang terjalin dengan baik karena jika melihat dari aturan yang sudah jelas tersebut maka aparat akan melaksanakan prosesnya dengan sistematis dan sesuai dengan harapan dari sebuah masyarakat sehingga diharapkan kedepannya Perma No. 2 Tahun 2012 ini bisa juga menyentuh mulai dari Penyidik bukan hanya dari penuntutan bahkan terkesan dominan Lembaga Pengadilan saja. Harapan dengan sinkronisasi segala aspek sistem peradilan pidana (Substansi, struktur dan kultur)  ini akan memberikan keserasian untuk menegakkan hukum yang jelas dengan melihat manfaat, keadilan dan kepastian hukum sehingga tujuan dari SPP itu pun dapat tercapai.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar