Rabu, 30 Mei 2012



PERBEDAAN UU NO. 15 TAHUN 2002 DENGAN HASIL PERUBAHAN UU NO. 25 TAHUN 2003 TENTANG MONEY LAUNDERING SERTA UU NO. 8 TAHUN 2010  TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

            Pencucian uang (Inggris:Money Laundering) adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.
            Bila kita menilik sejarahnya maka kita akan beranjak ke Tahun 1920-an ke Tanah Amerika, dimana para pelaku kejahatan terorganisasi mencuci uang hitam dari usaha kejahatannya melalui usaha binatu (laundry). Mereka banyak membuka usaha binatu sebagai tempat untuk persembunyian uang haram. Sejak saat itu, persembunyian atau menyamarkan asal – usul uang hasil kejahatan tersebut disebut “money laundering”atau pencucian uang. Kemudian istilah ini baru populer pada tahun 1984 tatkala Interpol mengusut pemutihan uang mafia Amerika Serikat yang terkenal dengan Pizza Connection yang menyangkut dana sekitar US $ 600 juta yang ditransfer melalui serangkaian transaksi yang rumit ke sejumlah Bank di Swiis dan Italia, transfer dilakukan dengan menggunakan restoran – restoran pizza sebagai sarana usaha untuk mengelabui sumber dana.
            Dalam perkembangannya, tindak pidana pencucian uang semakin kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor. Untuk mengantisipasi hal itu, Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering telah mengeluarkan standar internasional yang menjadi ukuran bagi setiap negara/jurisdiksi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme yang dikenal dengan Revised 40 Recommendations dan 9 Special Recommendations (Revised 40+9) FATF, antara lain mengenai perluasan Pihak Pelapor (Reporting Parties) yang mencakup pedagang permata dan perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan bermotor. Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral agar intensitas tindak pidana yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi. Penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah yang positif. Hal itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif.

Adapun perbedaan antara materi muatan UU Money Laundering yang lama dengan yang baru adalah sebagai berikut :

PERBEDAAN MATERI UU MONEY LAUNDERING YG BARU DAN YG LAMA
Dilatar belakangi semangat untuk memberantas setiap perkembangan jenis tindak pidana baru serta untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar internasional, disusunlah Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No. 8 Tahun 2010) sebagai pengganti Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Materi muatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini, antara lain:
1.      Redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana pencucian
uang;
2.      Penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana Pencucian Uang;
3.      Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi
administratif;
4.       Pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa;
5.       Perluasan Pihak Pelapor;
6.       Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau
jasa lainnya;
7.       Penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan;
8.      Pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda
Transaksi;
9.      Perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap
pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau
ke luar daerah pabean;
10.  Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk
menyidik dugaan tindak pidana Pencucian Uang;
11.   Perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau
pemeriksaan PPATK;
12.   Penataan kembali kelembagaan PPATK;
13.   Penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk
menghentikan sementara Transaksi;
14.   Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana Pencucian
Uang; dan
15.   Pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari
tindak pidana Uu no 15 tahun 2002 jo. Uu no 25 tahun 2003 & uu no 8 tahun 2010 definisi diperluas:
a.       Definisi pencucian uang diperluas di uu yang baru
menjadi "Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini-pasal 1 ayat 1 uu no 8 tahun 2010-"
b.      Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa( "nasabah" di Uu yg lama ).....-pasal 5 huruf b
c.       Pasal 3 ditambahkan kata " mengubah bentuk,menukarkan dgn mata uang atw surat berharga..
Tetapi anehnya pasal 3 yg mengatur ttg pencucian uang aktif, hukuman pidana penjara minimal tidak diberikan,dan denda paling banyak menjadi 10 milyar (tadinya 15 milyar) begitu jg dengan pasal 5 yg mengatur ttg pencucian uang pasif
d.      Pasal 6 dimasukan konsep baru:        
                                                                                  i.            Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK
untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana-pasal 5 huruf d uu no 8 tahun 2010
                                                                                ii.            Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional untuk menilai dugaan adanya tindak pidana. 
                                                                              iii.            Hasil Pemeriksaan adalah penilaian akhir dari seluruh
proses identifikasi masalah, analisis dan evaluasi
Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dilakukan
secara independen, objektif, dan profesional yang
disampaikan kepada penyidik. 
                                                                              iv.            Pihak Pelapor adalah Setiap Orang yang menurut
Undang-Undang ini wajib menyampaikan laporan
kepada PPATK. 
                                                                                v.            Personil Pengendali Korporasi adalah setiap orang yang
memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu
kebijakan Korporasi atau memiliki kewenangan untuk
melakukan kebijakan Korporasi tersebut tanpa harus
mendapat otorisasi dari atasannya. 
                                                                              vi.            Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau
lebih yang bersepakat untuk melakukan tindak pidana
Pencucian Uang. 
                                                                            vii.            Pasal 6 (2) Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang:

a.       Dilakukan atau diperintahkan oleh Personil
Pengendali Korporasi;
b.       Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan
tujuan Korporasi;
c.       Dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku
atau pemberi perintah; dan
d.      Dilakukan dengan maksud memberikan manfaat
bagi Korporasi(tadinya di uu yg lama tidak diatur)
                                                                          viii.            Pihak pelapor diperluas pada pasal 17 ayat 1 huruf b,"penyedia barang dan/atau jasa lain:   
a.       Perusahaan properti/agen properti;
b.      Pedagang kendaraan bermotor;
c.       Pedagang permata dan perhiasan/logam mulia;
d.      Pedagang barang seni dan antik; atau
e.        Balai lelang"
                                                                              ix.            Pasal 22 ayat 1          
                                                                                x.            Pasal 26
                                                                              xi.            Pasal 29
                                                                            xii.            Pasal 30
                                                                          xiii.            Pasal 69
                                                                          xiv.            Pasal 78
                                                                            xv.            Pasal 95
"Tindak Pidana Pencucian Uang yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus
dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang"     
                                                                          xvi.            Pasal 98
"Semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang,
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau
belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
                                                                        xvii.            Pasal 99         
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4191) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 108, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4324) dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.”




SINKRONISASI SPP DIDALAM PERMA NO.2 TAHUN 2012 TERKAIT DENGAN SISTEM HUKUM MENURUT LAWRENCE M.FRIEDMAN (LEGAL STRUCTURE, LEGAL CULTURE DAN LEGAL SUBSTANCE)

Sistem Peradilan Pidana (SPP) berasal dari kata yaitu “sistem” dan “peradilan pidana”. Pemahaman mengenai ”sistem” dapat diartikan sebagai suatu rangkaian diantara sejumlah unsur yang saling terkait untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam pandangan Muladi, pengertian system harus dilihat dalam konteks, baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan dan sebagai abstract system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain saling ketergantungan.     
Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Akan tetapi, menurut Muladi kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. 
SPP merupakan suatu jaringan (Network) peradilan yang menggunakan huku pidana sebagai sarana utamanya baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.
Pengertian SPP sendiri dapat dilihat dari aspek sistem hukum yaitu Aspek Substansi Hukum (Legal Substance), Aspek Kultur Hukum (Legal Culture), dan Aspek Struktur Hukum (Legal Structure).
Pada hakekatnya dibentuknya sistem peradilan pidana mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan internal sistem dan tujuan eksternal. Tujuan internal, agar terciptanya keterpaduan atau sinkronisasi antar subsistem-subsistem dalam tugas menegakkan hukum. Sedangkan tujuan eksternal untuk melindungi hak-hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana sejak proses penyelidikan sampai proses pemidanaan. Dengan demikian, sebenarnya tujuan dari sistem peradilan pidana baru selesai apabila pelaku kejahatan telah kembali terintegrasi ke dalam masyarakat, hidup sebagai anggota masyarakat umumnya yang taat pada hukum.         
Akan jadi masalah ketika tidak ada sinkronisasi dalam aspek struktural, aspek kultural dan aspek substansial dalam penegakan hukum itu sendiri, kita akan sedikit membahas tentang Perma No. 2 Tahun 2012 terkait hal itu. Perma No.2 Tahun 2012 ini tentang Penyesuaian Batasan Tipiring dan Jumlah Denda Dalam KUHP.      
Bila kita analisis dari:
1.      Legal Substance (Aspek Substansi Hukum)        
Legal Substansi sendiri merupakan sistem penegakan substansi hukum HP (meliputi HP materiel, HP formal, dan Hk. Pelaksanaan pidana) disini harus ada keselarasan baik vertikal maupun horizontal dalam hukum positif yang berlaku. Bila kita perhatikan Perma No. 2 Tahun 2012 ini merupakan suatu bentuk penyelarasan subtansi hukum pidana yang diatur dalam hukum pidana materil (KUHP) hal ini terlihat dalam pasal 1 Perma No. 2 Tahun 2012 yang meyelaraskan pengaturan jumlah dalam pasal 364,373,379,384,407,482 menjadi Rp. 2.500.000 dikarenakan bahwa jumlah Rp. 250,- sudah tidak lagi relevan untuk dikenakan, kemudian daripada itu juga dalam pasal 3 Perma No.2 Tahun 2012 tersebut di sebutkan bahwa maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan 2 serta 303 bis ayat 1 dan 2 dilipatgandakan menjadi 1000 kali.
Sedang kan dalam HP Formal sendiri dalam Perma No. 2 Tahun 2012 ini diatur dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyebutkan bahwa dalam meerima pelimpahan perkara pencurian, penipuan , penggelapan, penadahan dari penuntut umum maka ketua pengadilan wajib memperhatikan nilai barang, pengaturan dalam ayat 2 lebih lanjut menyatakan bahwa bila perbuatan tersebut termasuk dalam tindak pidana ringan (tipiring), maka ketua pengadilan segera menetapkan  Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam pasal 205-210 KUHAP. Terkadang sebelum dikeluarkan Perma ini perbuatan yang seharusnya termasuk dengan tidak pidana ringan tapi dalam pemeriksaan yang dilakukan dengan proses pemeriksaan biasa sehingga hal itu yang dirasa kurang memberikan kepuasan dan memuaskan rasa kehausan rakyat atas keadilan.

2.      Legal Structure (Aspek Struktur Hukum)
Ini berbicara terkait dengan keselarasan dalam mekanisme administrasi peradilan pidana dalam  hubungan antar lembaga penegak hukum. Jika melihat Peraturan Mahkamah Agung no.2 Tahun 2012 yang dominan dalam menyelesaikan perkara itu adalah seorang hakim yang akan memeriksa perkara tersebut dengan Hakim Tunggal dan seorang Jaksa yang cermat dalam memeriksa dan memberikan tuntutan berkenaan dengan kasus yang termasuk tindak pidana ringan dan harus jeli menerapkan aturan hukumnya.  Peraturan ini tidak hanya berbicara mengenai batasan penyesesuai batasan jumlah denda, namun ada itikad baik dari MA untuk memperbaiki proses peradilan. Upaya memperbaiki proses peradilan berdasarkan kewenangan MA hanya dapat diterapkan di lingkungan pengadilan. Peraturan ini tidak mampu secara hukum menjangkau pihak lain yang berada pada sistem peradilan pidana seperti penyidik maupun penuntut.
Sehingga jika kita analisis dari Legal Structure sendiri hal ini merupakan suatu bentuk ketidak sinkronan antar lembaga peradilan dengan Lembaga Penyidik, seharusnya untuk menjaga keselarasan dan kesinkronan anatar lembaga aparat penegak hukum hal ini juga melingkupi lembaga penyidik, bukan saja penuntut bahkan dominan lembaga pengadilan itu sendiri dalam Perma No.2 Tahun 2012.

3.      Legal Culture (Aspek Kultur Hukum)
Legal Culture ini terkait usaha  serempak menghayati pandangan yang hidup dalam masyarakat yang mendasari jalan  nya SPP. Bila kita lihat latar belakang lahirnya Perma No.2 Tahun 2012 ini sendiri adalah untuk menyelaraskan jumlah denda yang ada dalam KUHP dengan keadaan Jumlah mata uang sat ini bukan mengubah denda itu sendiri. Hal ini terkait unutk memudahkan Hakim dalam memberi putusan yang seadil – adilnya kepada masyrakat untuk kasus – kasus yang sebenarnya tergolong tingan seperti kasus Mbo Minah, Maling Sendal Jepit Bolong, kasus pencurian Semangka dsb. Dari sudut kultur hukum ini sendiri dapat kita lihat bahwa Perma No. 2 Tahun 2012 ini merupakan suatu bentuk penyelarasan mendudukan kembali nilai – nilai yang hidup dalam masyarakat dengan peraturan hukum yang ada, yang mana selama ini terkesan tidak memberi pengampunan dan begitu klasik seolah kejahatan harus di beri penanganan yang sama tanpa memperhatikan keadilamn dan nilai – nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri, sehingga selama ini terkesan kultur hukum kita terlalu legisme semata.

Sinkronisasi dalam Sistem Peradilan Pidana yang terdapat (Legal Substance, Legal Structure dan Legal Culture) dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012.
Seperti disebutkan diawal bahwa pada hakekatnya dibentuknya sistem peradilan pidana mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan internal sistem dan tujuan eksternal. Tujuan internal, agar terciptanya keterpaduan atau sinkronisasi antar subsistem-subsistem dalam tugas menegakkan hukum. Sedangkan tujuan eksternal untuk melindungi hak-hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana sejak proses penyelidikan sampai proses pemidanaan. Dengan demikian, sebenarnya tujuan dari sistem peradilan pidana baru selesai apabila pelaku kejahatan telah kembali terintegrasi ke dalam masyarakat, hidup sebagai anggota masyarakat umumnya yang taat pada hukum.    
Dalam keselaran atau keserempakan untuk menjalankan aturan yang ada didalam peraturan tersebut maka harus adanya kesepamahan dari aparat penegak hukum dari Kepolisian, Penuntut Umum, Pengadilan / Hakim dan Lembaga Koreksi (Lapas) ini harus adanya koordinasi yang terjalin dengan baik karena jika melihat dari aturan yang sudah jelas tersebut maka aparat akan melaksanakan prosesnya dengan sistematis dan sesuai dengan harapan dari sebuah masyarakat sehingga diharapkan kedepannya Perma No. 2 Tahun 2012 ini bisa juga menyentuh mulai dari Penyidik bukan hanya dari penuntutan bahkan terkesan dominan Lembaga Pengadilan saja. Harapan dengan sinkronisasi segala aspek sistem peradilan pidana (Substansi, struktur dan kultur)  ini akan memberikan keserasian untuk menegakkan hukum yang jelas dengan melihat manfaat, keadilan dan kepastian hukum sehingga tujuan dari SPP itu pun dapat tercapai.










Kamis, 20 Oktober 2011

ANALISIS UU TIPIKOR dan UU MONEY LAUNDRYING dalam PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI


1. ANALISIS UU TIPIKOR ( UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 )

Pada awalnya korporasi atau badan hukum (rechtpersoon) adalah subjek yang hanya dikenal di dalam hukum perdata. Apa yang dinamakan badan hukum itu sebenarnya adalah ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang diberi status sebagai subjek hukum, di samping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah (natuurlijk persoon). Dengan berjalannya waktu, pesatnya pertumbuhan ekonomi dunia yang mengarah ke globalisasi dimana memberikan peluang yang besar akan tumbuhnya perusahaan-perusahaan transnasional, maka peran dari korporasi makin sering kita rasakan bahkan banyak memengaruhi sektor-sektor kehidupan manusia. Dampak yang kita rasakan menurut sifatnya ada dua yaitu dampak positf dan dampak negatif. untuk yang berdampak positif, kita sependapat bahwa itu tidak menjadi masalah namun yang berdampak negatif inilah yang saat ini sering kita rasakan.

TIPIKOR diatur dalam UU No 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001. Dalam Bab I UU No. 31 tahun 1999 mengenenai TIPIKOR pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik badan hukum maupun bukan merupakan badan hukum. Sebenarnya kejahatan korporasi (corporate crime) sudah dikenal lama dalam ilmu kriminologi. Di kriminologi sendiri corporate crime merupakan bagian dari kejahatan kerah putih (white collar crime). White collar crime sendiri diperkenalkan oleh pakar kriminologi terkenal yaitu E.H. Sutherland (1883-1950) dalam pidato bersejarahnya yang dipresentasikan "...at the thirty-fourth annual meeting of the American Sociological Society ini Philadelphia on 27 December 1939". semenjak itu banyak pakar hukum maupun kriminologi mengembangkan konsep tersebut.

Tahun 1984, terjadi suatu tragedi yang menggemparkan dunia dimana terjadi bencana kimiawi akibat kebocoran gas pada pabrik milik Unicon Carbide India Limited, di Bhopal India. Tragedi tersebut kita kenal dengan Tragedi Bhopal, kejadian tersebut terjadi akibat buruknya sistem pengamanan dan tindakan penghematan baiaya yang berlebihan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. efek dari peristiwa tersebut dapat dirasakan hingga 20 tahun.

Tragedi Bhopal hanyalah sebagian kecil dari peristiwa yang diakibat oleh kegiatan korporasi di dunia ini. Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan dampak negatif dari kegiatan korporasi. Di Indonesia mungkin peristiwa yang masih hangat yaitu peristiwa munculnya sumber lumpur di sidoarjo yang diindikasikan disebabkan oleh kegiatan pengeboran yang tidak memenuhi standar dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas. Akibat peristiwa tersebut ribuan orang kehilangan tempat tinggal akibat terendam lumpur, belum lagi industri-industri disekitar semburan lumpur yang harus tutup akibat tidak bisa berproduksi yang mengakibatkan ribuan orang kehilangan pekerjaannya.

Dalam perjalanannya pemikiran mengenai corporate crime, banyak menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum khususnya hukum pidana. Di hukum pidana ada doktrin yang berkembang yaitu doktrin 'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''universitas_delinquere_non_potest''&action=edit&redlink=1"'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''universitas_delinquere_non_potest''&action=edit&redlink=1"universitas delinquere non potestHYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''universitas_delinquere_non_potest''&action=edit&redlink=1"'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''universitas_delinquere_non_potest''&action=edit&redlink=1"' (korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana), ini dipengaruhi pemikiran, bahwa keberadaan korporasi di dalam hukum pidana hanyalah fiksi hukum yang tidak mempunyai mind, sehingga tidak mempunyai suatu nilai moral yang disyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal dalam suatu delik/Tindak pidana mensyaratkan adanya kesalahan (mens rea) selain adanya perbuatan (actus reus) atau dikenal dengan 'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''actus_non_facit_reum,_nisi_mens_sit_rea''&action=edit&redlink=1"'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''actus_non_facit_reum,_nisi_mens_sit_rea''&action=edit&redlink=1"actus non facit reum, nisi mens sit reaHYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''actus_non_facit_reum,_nisi_mens_sit_rea''&action=edit&redlink=1"'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''actus_non_facit_reum,_nisi_mens_sit_rea''&action=edit&redlink=1"'.

Namun masalah ini sebenarnya tidak menjadi masalah oleh kalangan yang pro terhadap pemikiran corporate crime. Menurut Mardjono Reksodiputro ada dua hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tindak pidana korporasi yaitu, pertama tentang perbuatan pengurus (atau orang lain) yang harus dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi dan kedua tentang kesalahan pada korporasi. Menurut pendapat beliau, hal yang pertama untuk dapat dikonstruksikan suatu perbuatan pengurus adalah juga perbuatan korporasi maka digunakanlah “asas identifikasi” . Dengan asas tersebut maka perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi, diidentifikasikan (dipersamakan) dengan perbuatan korporasi itu sendiri. Untuk hal yang kedua, memang selama ini dalam ilmu hukum pidana gambaran tentang pelaku tindak pidana masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pembuat (fysieke dader) namun hal ini dapat diatasi dengan ajaran “pelaku fungsional” (functionele dader) . Dengan kita dapat membuktikan bahwa perbuatan pengurus atau pegawai korporasi itu dalam lalu lintas bermasyarakat berlaku sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan maka kesalahan (dolus atau culpa) mereka harus dianggap sebagai keasalahan korporasi.

Di negara-negara Common Law System seperti Amerika, Inggris, dan Kanada upaya untuk membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability) sudah dilakukan pada saat Revolusi Industri. Menurut Remy Sjahdeini ada dua ajaran pokok yang menjadi bagi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut adalah doctrine of strict liability dan 'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''doctrine_of_vicarious_liability''&action=edit&redlink=1"'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''doctrine_of_vicarious_liability''&action=edit&redlink=1"doctrine of vicarious liabilityHYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''doctrine_of_vicarious_liability''&action=edit&redlink=1"'HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=''doctrine_of_vicarious_liability''&action=edit&redlink=1"'. Berdasarkan ajaran strict liability pelaku tindak pidana dapat diminta pertanggungjawabannya tanpa disyaratkannya adanya kesalahan sedangkan menurut ajaran vicarious liability dimungkinkan adanya pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan, misalnya oleh A kepada B.

Bila kita analisis dalam negara kita yang lebih condong kepada hukum yang dikodifikasikan yaitu sistem hukum civil law. Menurut analisis saya Pertanggungjawaban korporasi dalam UU ini masuk ke dalam Direct Coorporate Liability yang mana dalam paham ini menyebutkan perbuatan dan sikap batin dari orang – orang tertentu dari korporasi dianggap sebagai perbuatan dan sikap batin korporasi, korporasi bertanggung jawab secara pidana apabila ada pejabat sebior yang melakukan tindak pidana sepanjang perbuatan tersebut dilakukan dalam ruang lingkup kewenangannya atau dalam urusan transaksi perusahaan. Hal ini jelas tersirat dalam pasal 20 UU No. 31 tetang Pemberantasan TIPIKOR yang berisi :

1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.

2. Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.

5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).

Dalam hal ini jelas terlihat bahwa rumusan dalam paham Direct Liability terkandung dalam pasal 20 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan TIPIKOR, jadi dapat saya simpulkan bahwa UU No 31 Tahun 1991 jo. UU No 20 Tahun 2001 tentang TIPIKOR menganut paham Direct Liability.

Doktrin direct liability merupakan dasar pertanggungjawaban korporasi terhadap tindak pidana. Oleh karena itu korporasi bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat senior di dalam korporasi, sepanjang ia melakukannya dalam ruang lingkup kewenangan atau dalam urusan transaksi korporasi. Doktrin identifikasi atau direct liability doctrine ini di samping dapat digunakan untuk mempertanggungjawabkan korporasi di bidang hukum pidana, pada sisi lain juga dapat membatasi pertanggungjawaban korporasi. Apabila kejahatan dilakukan oleh karyawan atau agen yang tidak mempunyai status sebagai pejabat senior, korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan, kecuali undang-undang menetapkan dasar pertanggungjawaban yang lain.

Doktrin direct liability, secara khusus dikembangkan demi menerapkan tanggung jawab korporasi, dan pada dasarnya bertujuan untuk meniru pembebanan tanggung jawab terhadap manusia. Doktrin direct liability ini bergantung pada personifikasi badan hukum. Doktrin ini mengidentifikasi pola tindakan dan pikiran dari individu tertentu dalam korporasi – yang disebut dengan istilah organ korporasi – yang bertindak dalam ruang lingkup kewenangan mereka dan atas nama badan korporasi, sebagai tindakan dari korporasi itu sendiri.

Proses identifikasi ini kemudian menjadi dasar dari proses imitasi. Suatu korporasi dapat dianggap bertanggung jawab pidana atas kejahatan pidana, sama seperti tanggung jawab yang dibebankan pada pelaku manusia, dengan tetap terbatasi oleh keterbatasan-keterbatasan alami yang mengikuti karakter korporasi sebagai suatu kepribadian hukum.

Perlu diketahui bahwa doktrin direct liability, sama seperti doktrin vicarious liability, mengikuti proses dua tahap. Pertama-tama, tindakan manusia yang dipertimbangkan; proses identifikasi ini kemudian dilakukan secara terpisah untuk melihat apakah pantas dalam keadaan tersebut untuk menganggap seorang manusia tertentu sebagai organ korporasi.

2. ANALISIS UU MONEY LAUNDRYING ( UU No. 15 Tahun 2002 jo. UU No. 25 Tahun 2003 )

Pencucian uang (Inggris:Money laundering) adalah suatu upaya untuk menyembunyikan asal usul uang atau kekayaan hasil kejahatan melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau harta tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang legal.

Di Indonesia, hal ini diatur secara yuridis dalam UU RI No. 15/2002 tentang tindakan pidana pencucian uang, di mana pencucian uang dibedakan dalam dua tindak pidana.

Pertama, tindak pidana aktif, di mana seseorang dengan sengaja menempatkan, mentransfer, menghibahkan, menbayarkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan uang-uang hasil tindak pidana dengan tujuan mengaburkan atau menyembunyikan asal usul uang itu, sehingga muncul seolah-olah sebagai uang yang sah.

Kedua, dalam pasal 6 UU RI No. 15/2002, disebutkan tentang tindak pidana pencucian yang pasif yang dikenakan kepada setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, penerima hibah, sumbangan, penitipan, penukaran uang-uang yang berasal dari tindak pidana itu, dengan tujuan sama yaitu untuk mengaburkan, menyembunyikan asal-usulnya. Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang.

Sanksinya cukup berat, dimulai dari hukuman penjara lima tahun minimum, maksimum 15 tahun, dengan denda minimum lima milyar dan maksimum 15 miliar rupiah.

Dalam pasal 4 UU No.22 Tahun 2002 dijelaskan :

1. Apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus dan/atau kuasa pengurus atas nama korporasi, maka penjatuhan pidana dilakukan baik terhadap pengurus dan/atau kuasa pengurus maupun terhadap korporasi.

2. Pertanggungjawaban pidana bagi pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.

3. Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pengurus yang mengatasnamakan korporasi, apabila perbuatan tersebut dilakukan melalui kegiatan yang tidak termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.

4. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di sidang pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

5. Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

Terkait pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana money laundrying, rumusan tersebut memenuhi paham Vicarious Liability yang mana dalam Vicarious Liability dijelaskan.

Bila kita analisis maka jenis pertanggungjawaban berdasar pasal 4 UU No. 25 Tahun 2003 termasuk dalam pertanggungjawaban Vicarious Liability, yang mana menurut ajaran vicarious liability (ajaran pertanggungjawaban vikarius), seseorang dimungkinkan untuk harus bertanggung jawab terhadap perbuatan orang lain. Jika ajaran ini diterapkan pada korporasi, maka korporasi dimungkinkan harus bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya atau mandatarisnya, atau siapa saja yang bertanggung jawab kepada korporasi tersebut. Artinya, apapun yang dilakukan seseorang manager ataupun majikan melalui agennya, hal ini sama dengan dia melakukannya sendiri. Atau dengan kata lain, hukum memandang bahwa tindakan agen ataupun karyawan merupakan tindakan yang dilakukan oleh kepala atau majikan, dan bahwa pengetahuan agen atau karyawan merupakan pengetahuan dari kepala atau majikan.

Model vicarious liability merupakan suatu bentuk model adaptasi yang sangat jelas, oleh karena pada awalnya, model ini digunakan untuk memperluas ruang lingkup tanggung jawab pidana dan membuat tanggung jawab tersebut menjadi bisa dibebankan dalam kondisi yang telah diatur, pada seorang kepala atau pemilik korporasi atas tindakan yang dilakukan oleh agen ataupun karyawannya. Dan, jika dilihat dari sejarah pembentukan model ini, teori atau doktrin atau ajaran vicarious liability diambil dari Hukum Perdata yang diterapkan ke dalam Hukum Pidana. Ajaran ini mengatur tentang perbuatan melawan hukum berdasarkan doctrine of respondeat superior.

Doktrin vicarious liability yang memberikan dasar bagi korporasi untuk bertanggung jawab atas tindakan agen-agennya atau karyawannya (tidak peduli apa posisi agen atau pegawai tersebut dalam hirarki korporasi juga apa jenis pelanggarannya). Namun demikan, terdapat syarat yang harus dipenuhi untuk korporasi bertanggungjawab atas tindakan agen-agennya atau karyawannya, yaitu:
1. Agen tersebut bertindak dalam ruang lingkup pekerjaannya, memiliki kewenangan untuk bertindak untuk korporasi yang berkaitan dengan bisnis korporasi tertentu yang telah dilakukan secara tercela dan merupakan kejahatan pidana;
2. Agen tersebut bertindak, setidaknya sebagian dari tujuannya untuk memajukan kepentingan bisnis korporasi tersebut.

Suatu korporasi hanya dapat dibebani pertanggungjawaban secara vikarius terhadap tindakan yang dilakukan oleh pegawainya atau kuasanya, namun dalam hal perbuatan tersebut dilakukan dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai pegawai atau kuasa dari korporasi tersebut. Secara a contrario hal itu berarti seorang pemberi kerja tidak harus memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawainya apabila perbuatan itu dilakukan di luar atau tidak ada hubungan dengan tugasnya.